Menuju “Titik Balik” Kebangkitan Pendidikan Bangsa

Menurut Human Development Reports , HDR 2002 (Laporan Pembangunan Manusia 2002) yang dikeluarkan oleh Program Pembangunan PBB ( United Nations Development Programme, UNDP) tentang Human Development Indicators 2002, Indonesia menempati peringkat 110 dari 173 negara yang diteliti dengan Human Development Index (HDI) 0.684. Posisi Indonesia itu jauh di bawah negara anggota ASEAN, misalnya Singapura (25), Brunei Darussalam (32), Malaysia (59), Thailand (70), Vietnam (109).

Kemudian pada HDR 2003, indeks tersebut merosot menjadi 0,682. Penurunan indeks yang mencerminkan memburuknya kualitas manusia Indonesia ini juga terlihat dari menurunnya peringkat HDI, dari urutan 110 ke 112, sementara Malaysia naik ke peringkat 58 dan Vietnam masih di urutan ke 109. ( Kliping Suara Pembaharuan, 2003)

Ironis memang. Dua puluh tahun yang lalu, Malaysia masih belajar banyak dalam bidang pendidikan kepada Indonesia. Kini kualitas pendidikan negerinya Siti Nurhaliza itu jauh di atas ‘mantan guru’-nya. Ketika negara tetangga giat menggenjot prestasi intelektual kaum terpelajarnya, negerinya Samson Betawi ini malah disibukkan dengan audisi AFI, Indonesian Idol, KDI atau Pentas Idola Cilik.

Anehnya, bukannya memperbaiki citra pendidikan sekolah, pemerintah seperti mendiamkan acara-acara penjaringan bakat itu. Kenapa tidak diciptakan kondisi: “Aku bangga jadi ilmuwan” misalnya yang bisa memacu kreativitas siswa untuk berprestasi di ajang yang benar, baik, dan bermanfaat.

Potret buram pendidikan kita

Harus kita akui, kalau masalah pendidikan nasional tidak ada matinya. Belum beres satu, tumbuh seribu. Dari mulai biaya sekolah, kondisi gedung sekolah, kurikulum pendidikan, atau nasib tenaga pengajarnya.

Mahalnya biaya sekolah mengakibatkan jumlah anak putus sekolah makin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam sebuah tulisan terungkap jumlah anak putus sekolah untuk usia 0-6 tahun sebanyak 19 juta (73%); 7-12 tahun sebanyak 2 juta (6%), 13-15 tahun sebanyak 7 juta (55%). ( Suara Pembaharuan , 2003).

Bangunan sekolahnya juga masih banyak yang tak layak. Seperti yang terjadi di Kab. Sumedang, Jawa Barat. Hampir 60% bangunan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI) di Kab. Sumedang saat ini kondisinya rusak. Dari persentase tersebut di antaranya dari data 2002 terdapat 1.241 ruang kelas tidak bisa digunakan karena rusak berat. ( Pikiran Rakyat , 2004).

Kurikulum pendidikan nasional tak mampu mengatasi sekitar 2,5 juta lulusan SMA yang terpaksa menganggur akibat tidak memiliki keterampilan untuk bekerja atau berwirausaha. Jumlah pengangguran tersebut bertambah pula dari lulusan perguruan tinggi yang setiap tahun terjadi peningkatan sekitar 250 ribu orang sarjana, 120 ribu lulusan diploma III dan 60 ribu lulusan diploma I dan II. ( Pikiran Rakyat , 2004)

Belum lagi dengan nasib para pahlawan tanpa tanda jasa dan tanpa kesejahteraan yang terlukis dalam lagu ‘Oemar Bakri’-nya Iwan Fals. Sudah gaji kecil bin pas-pasan, disunat pula setiap bulan.

Ada apa dengan pendidikan nasional?

Kalau kita cermati, nampaknya salah dua faktor yang ikut melestarikan krisis pendidikan di negeri kita adalah minimnya anggaran dan kurikulum pendidikan yang materialis-sekuleris.

Alokasi dana APBN yang dianggarkan untuk pendidikan begitu setia bertahan di bawah angka 10 persen. Untuk tahun 2005 saja, secara keseluruhan, Depdiknas memperoleh alokasi dana sebesar Rp 21,585 triliun, yang terdiri dari rupiah murni sebesar Rp 20,689 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 895 miliar yang dialokasikan ke dalam 20 program pembangunan pendidikan. ( Media Indonesia, 2005 ).

Jangan terpesona dulu melihat angka triliunan rupiah itu. Sebab kalau kita hitung-hitung dari total APBN 2005 yang jumlahnya Rp 377 triliun, anggaran pendidikan nasional cuma dapat sekitar 5,7 %. Belum yang ditilep sama oknum pejabatnya.

Minimnya anggaran pendidikan berakibat pada kurangnya pemeliharaan gedung sekolah, terlalaikannya kesejahteraan tenaga pendidik, atau terabaikannya pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung.

Padahal, kalau kita bandingkan dengan negara-negara tetangga kita, mereka cukup royal dalam mengalokasikan dananya demi peningkatan kualitas pendidikan. Kepala Perwakilan The United Nations Children’s Fund (Badan PBB untuk masalah anak) di Indonesia, Steven Alen mengatakan, anggaran pendidikan Indonesia merupakan yang terendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Cina, Malaysia, Filipina dan Singapura mengeluarkan dana lebih dari tiga kali anggaran Indonesia. ( Tempo, 2003).

Kurikulum pendidikan nasional kental sekali dengan sistem pendidikan kolonial yang materialis van sekuleris. Dibilang materialis lantaran hasil pendidikan cuma diukur dari gelar yang berhasil diraih atau selembar ijazah untuk bekal mencari kerja biar bisa membalikkan modal ke orang tua yang sudah membiayai sekolah.

Kondisi di atas makin diperunyam dengan prinsip bebas nilai agama alias sekuleris dalam mendidik siswa. Kalau pun ada pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan umum, itupun cuma menumpang lewat saja alias formalitas. Kegiatan belajar mengajarnya banyak dipakai cuma buat transfer ilmu. Steril dari upaya pembentukan (transform) watak dan karakter anak didik untuk menjadi generasi pelajar berkualitas. Kalau pun pinter tapi tak berakhlak. Gawat juga kan?

Tanggung jawab siapa?

Kalau bertanya urusan tanggung jawab, pastinya yang berbuatlah yang harus bertanggung jawab. Dalam krisis pendidikan, tentu pemerintah yang paling besar tanggung jawabnya. Malah mereka berani disumpah untuk menjalankan isi UUD’45 yang salah satu pasalnya berbunyi, “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak”. Betul?

Tapi agaknya, kita mesti menelan kenyataan pahit kalau ternyata pemerintah belum serius membereskan masalah pendidikan. Dulu, pemerintah gencar kampanyekan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP). Tapi lucunya pemerintah malah menghentikan subsidi pendidikan. Waktu masih disubsidi saja banyak yang tidak mampu membiayai sekolah. Apalagi subsidi dicabut, sama saja dengan aksi pembodohan massal.

Yang lebih lucu lagi, pemerintah malah berlepas tangan dengan memberlakukan otonomi pendidikan untuk menanggulangi minimnya anggaran pendidikan. Akibatnya, biaya pendidikan makin melambung tinggi. Jauh meninggalkan keluarga para pelajar atau calon pelajar yang tengah berjuang menahan himpitan ekonomi yang makin berat.

Belajar dari sistem pendidikan Islam

Pusing juga memikirkan masalah pendidikan. Ya, makanya jangan cuma dipikirkan tapi mesti dicari solusinya.

Dari zamannya dahulu, Islam sangat menghargai pendidikan. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.

Saking besarnya penghargaan pemerintahan Islam terhadap pendidikan, terutama kepada tenaga pengajar, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada tiga orang yang mengajar anak-anak di kota Madinah, masing-masing sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gr emas). Kalau kurs 1 gr emas seharga Rp. 90.000, berarti gaji guru setingkat TK sebesar 90.000 x 4,25 x 15 = 5.737.500 rupiah per bulan!

Negara juga bertanggung jawab terhadap pengadaan sarana pendidikan. Dari mulai kitab-kitab, perpustakaan, laboratorium, planetarium, gedung sekolah, universitas, masjid, majelis taklim, sampe toko buku. Dalam kitab Mu’jamul Udaba , karangan Yakut, disebutkan di salah satu pojok kota Khurasan (bagian timur Iran), terdapat sepuluh perpustakaan yang teratur rapi dan memiliki 12.000 kitab. Di antaranya, yang paling terkenal adalah “Khizanatul al-Ahkam ats-Tsani”, yang memiliki koleksi 400.000 kitab.

Bagaimana dengan biaya pendidikannya? Jangan khawatir, karena dalam Islam dikenal sistem pendidikan bebas biaya. Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntashir di kota Baghdad. Pada sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara.

Kurikulum pendidikan Islam yang berbasis syariah telah melahirkan banyak ilmuwan, di antaranya pakar pendidikan; al-Ghazali, pakar kedokteran; Ibnu Sina, atau al-Khawarizmi yang menemukan angka nol. Kurikulum yang tidak sekadar transfer of knowledge tapi juga pembentukan watak dan karakter sebagai muslim yang steril dari pemahaman sekuler.

Sekarang kita sudah punya ilmu untuk mengobati krisis pendidikan. Tinggal satu lagi yang harus kita pahami dan jangan sampai lupa. Jika ingin membentuk manusia yang beriman, berilmu dan beramal baik, maka satu-satunya jalan adalah menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Negara yang akan mengatur seluruh aspek kehidupan dengan benar, termasuk pendidikan.

3 Comments »

  1. Semakin produktif saja.

  2. SQ said

    wah…saya nggak tahu blog saya yang dulu ditaut disini, sama-sama urang banjar lagi…

    senangnya ketemu orang yang juga berkeinginan memajukan pendidikan, apalagi punya “content” tulisan segini hebat

    yap…bangkit dunia pendidikan?!

  3. Abu Nuwaeri said

    Mudahan perkembangan dunia pendidikan kita memang benar-benar `mendidik` anak bangsa, yang lagi sekolah atau bagi yang (katanya) udah kelar sekolahnyaa..
    Fik,ana pengen belajar banyak ama ente nih.

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Leave a comment