Mengkaji Kitab Kuning di Zaman Serba Instan (3)

(Catatan untuk Musabaqah Qiraat al-Kutub)

kitab-kuning1

Meski masih terjaga, kitab kuning sebagai aset kekayaan khazanah intelektual umat Islam Indonesia itu kini menjadi sorotan keprihatinan banyak kalangan, terutama kalangan pesantren sendiri. Apa pasal?

Tradisi penggalian dan pengembangan intelektual via kitab kuning di pesantren kian hari kian surut. Hanya beberapa pesantren saja yang masih ajeg menjaga dan melestarikan tradisi ini. Menjaga dan melestarikan dalam konteks ini adalah menjadikan kitab kuning sebagai literatur utama yang wajib dipelajari santri dan menjadi bahan pertimbangan utama kelulusan atau keberhasilan santri.

Kalau dulu, seorang santri berangkat mondok di pesantren niatnya adalah belajar agama dengan berguru kepada kiai dan mendalami kitab kuning. Materi pelajaran yang disampaikan sebagian besar adalah menggunakan bahasa Arab. Karena itu, secara otomatis santri juga diajari ilmu alat (nahwu-sharaf) atau yang biasa disebut gramatikal bahasa Arab, yang bertujuan untuk mempermudah santri dalam memahami, mendalami, dan mengembangkan kandungan kitab kuning.
Kini tak lagi seperti itu. Ghalibnya santri belajar di pesantren berharap dapat ijazah formal (diakui pemerintah) plus pendidikan agama (sekolah diniyah). Mereka lebih getol mengejar target untuk memenuhi standar kelulusan sekolah (formal) saat Ujian Nasional ketimbang mendalami kitab kuning di sekolah diniyah yang ijazahnya tak laku di perguruan tinggi atau untuk melamar kerja. Karena itu, rata-rata kini pesantren menyelenggarakan dua model pendidikan, sekolah formal (kurikulum versi pemerintah) dan sekolah diniyah (kurikulum versi pesantren).

Dengan adanya sistem ini, penguasaan kitab kuning menjadi tak utama, yang terpenting adalah kitab kuning masih diajarkan di tempat itu, sekedar untuk menjaga tradisi ‘ngaji kitab’, bukan menguasai apalagi memperdalam. Santri pun menganggap belajar kitab kuning sebagai sampingan atau pelengkap, sementara memahami dan memperdalam ‘kitab putih’ menjadi hal yang utama. Kitab putih di sini adalah buku ajar di sekolah, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, Biologi, Fisika, Kimia dan lain-lain, atau bisa juga kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab.

Selanjutnya, modernisasi pesantren tak hanya berhenti sampai di situ. Banyak juga pesantren yang tak hanya membuka madrasah di bawah naungan Departemen Agama, pesantren juga membuka sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMA, atau universitas yang kurikulumnya menginduk ke Depdiknas.

Kaitannya dengan itu, roda “pembaharuan” di kalangan pesantren ini diarahkan pada pengembangan pemahaman yang selaras dengan arus modernisasi, serta penyelarasan sistem pendidikan modern agar lebih responsif terhadap perkembangan zaman. Atau dengan kata lain mendukung program pembangunan yang dilancarkan oleh penguasa.

Pada titik ini, sebetulnya kita bisa mencermati bagaimanakah nasib kitab kuning di pesantren? Nampaknya eksistensi kitab kuning sama sekali tak didukung oleh perkembangan zaman. Arus perkembangan dunia modern seakan kian menjauhkan kalangan pesantren dengan khazanah kitab kuning. Inilah yang berpengaruh besar dalam pergeseran kurikulum literatur di pesantren, seperti yang penulis istilahkan di atas, dari “kitab kuning” ke “kitab putih”.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan, padahal jenis pesantren model ini adalah rata-rata pesantren yang ada di Indonesia. Hanya sedikit sekali pesantren yang masih memprioritaskan kitab kuning dalam kurikulum pembelajarannya, apalagi menjadi tolak ukur kelulusan. Kitab kuning yang selama ini dielu-elukan banyak kalangan sebagai bagian dari buah asimilasi dan kreasi intelektual keislaman yang mengandung ciri khas corak pemikirann Islam Indonesia (indigenous), bisa jadi akan luntur ditelan zaman jika keberadaannya tak lagi diminati.

Upaya Mengembalikan ‘Yang Hilang’

Melihat kenyataan di atas, perlu ditegaskan, kitab kuning sejatinya tak hilang, tapi hanya keberadaannya saja yang sekadar artifisial. Di tengah-tengah kelesuhan belajar kitab kuning itu, ternyata ada beberapa upaya yang dilakukan berbagai kalangan untuk menghidupkan kembali khazanah keilmuan dalam kitab kuning.

Salah satunya penyelenggaraan Musabaqah Qiraatul Kutub, disingkat MQK. Selama ini orang hanya mengenal MTQ atau Musabaqah Qiraatul Quran. Kini sejak tahun 2004 Departemen Agama juga menggelar MQK saban dua tahun sekali untuk menggenjot semangat pengkajian kitab kuning di lingkungan pesantren.

Untuk mengikuti kegiatan ini, setiap peserta dari pesantren harus mengikuti seleksi dan berkompetisi di level propinsi masing-masing, lalu para jawara di propinsi itulah yang akan berlaga di MQK tingkat nasional. Secara luas, tujuan kegiatan ini adalah 1) menjalin ukhuwah yang mempersatukan santri dari berbagai kalangan dan penjuru nusantara. 2) mendorong dan meningkatkan kecintaan para santri terhadap kitab-kitab kuning, mengingat belakangan ini para santri (di)sibuk(kan) bahkan terlena dengan buku-buku putih di sekolah. 3) menanamkan paradigma “dari mengaji menjadi mengkaji” di kalangan para santri.

Tentu saja mengaji dan mengkaji adalah dua hal yang berbeda. Kalau mengaji hanya sekadar membunyikan atau membaca, sementara mengkaji mensyaratkan kemampuan logika (mantiq), rasionalitas, serta perspektif kritis dalam memahami teks dan meneliti suatu masalah.

Kitab-kitab yang diujikan adalah kitab standar yang menjadi rujukan utama kajian-kajian keagamaan di pesantren, antara lain Tafsir Jalalain dan al-Maraghi (tafsir), Fathul Qarib dan Fathul Mu’in (fikih), Bulughul Maram dan Fathul Bari (hadis), serta Imrithi dan Alfiyah Ibn Malik (lughah). Dalam ajang perlombaan ini, para santri tidak hanya dituntut mahir dalam membaca kitab gundul, tapi mereka juga harus piawai dalam memahami makna serta menginterpretasikannya dalam konteks kekinian. Dengan demikian, maka perlombaan ini tak sekedar artifisial, tapi benar-benar menggali khazanah keilmuan Islam melalui kitab-kitab kuning yang belakangan ini sangat terpinggirkan.

Penulis berharap dengan adanya MQK ini gairah intelektual dunia pesantren dalam tradisi pengkajian kitab kuning kembali membuncah, dan juga pesantren-pesantren tersebut tak hanya mampu menciptakan lulusan yang mantap dalam ilmu umum, tapi juga mumpuni dan memiliki kedalaman ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning. Ini juga sangat berguna dalam membendung arus purifikasi dan eksklusifisme Islam yang dekade terakhir ini membanjir pada kalangan intelektual muda di kampus, khususnya di perguruan tinggi umum. Semoga saja usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai kalangan itu dapat membangkitkan kembali gairah untuk mempelajari dan mengembangkan kitab kuning.

Ke depan, ajang MQK ini mudah-mudahan mampu mendorong semangat para santri dan kalangan pesantren secara luas, untuk tidak hanya mampu membaca dan memahami kitab kuning, tapi juga mengkontekstualisasikan dalam konteks kekinian. Ini adalah kebutuhan mendesak yang mesti dilakukan. Sebab, kajian kontekstual terhadap kitab kuning telah dinilai sebagai suatu metode pemahaman yang tepat untuk mengetahui pesan-pesan substantif isi kitab tersebut sesuai dengan maqashid (maksud) pengarangnya. Penilaian ini diberikan karena disadari bahwa suatu kitab ditulis atau dicetak bukan dalam ruang hampa.

Kitab kuning, yang umumnya merupakan penjabaran dan pemahaman dari ajaran-ajaran Alquran dan Hadis, adalah hasil refleksi atas banyak hal yang melingkupi diri mu`allif, di antaranya kondisi sosio-kultural, sosio-politik, kecenderungan pemikiran, dan motif-motif lain yang terkait. Bahasa atau simbol tulisan disadari tidak mampu memfasilitasi seluruh kehendak mu`allif berikut dimensi yang mengitari tersebut. Pemikiran-pemikiran di dalam kitab kuning, dengan demikian, hadir bersamaan dengan dan menurut konteks-nya sendiri.

Kontekstualisasi yang dimaksud dalam wacana ini adalah; pertama, suatu proses pemahaman kitab kuning yang mengacu kepada kenyataan syakhshiyyah maupun ijtima’iyyah yang melatarbelakangi kehadirannya; kedua, upaya memahami kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harfiyah, tetapi mampu menyentuh substansi (natijah) pemikiran yang menjadi jiwanya; ketiga, proses belajar dan mengajar kitab kuning yang mengacu kepada kegunaan praktis dalam kehidupan masyarakat.

Dengan begitu, kontekstualisasi kitab kuning di zaman serba instan ini akan melahirkan tajdid fahm al-syari’ah, yaitu suatu upaya menjabarkan ajaran Islam, sesuai dengan tuntutan kondisi yang terus berubah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di akhirat.

(Tamat)***

Wallaahu a’lam bish shawaab.

9 Comments »

  1. Qori said

    ulun sebagai santri yg belajar kitab kuning sih enjoy aja,kata Ustad yg penting tuh ilmu bamamfaat wan babarkat,setuju ulun wan pian.

  2. Jomblo said

    Silakan kunjungi blog di http://www.wisnuvegetarianorganic.wordpress.com/

  3. siti kholijah said

    bukunya amat bagus

  4. kunci kitab kuning adalah ilmu alat nya.

  5. huda said

    Alhamdulllah masih ada orng yng megkaji kitab para pendahulu…ulama’ salafussholih…

  6. semoga ke iksistensi kitab masih banyak yang mengikutinya

  7. widiyah said

    Subhanallah kitabya bagus.

  8. Bagus Aji said

    Saya baru pertama kali berkunjung. Blognya menambah pengetahuan. Salam kenal.

  9. Izin kak said

    izin share

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Leave a comment