Pro kontra seputar pornografi memang tidak akan pernah selesai, terutama di antara tarik menarik argumentasi agama moralitas via a vis argumentasi kebebasan untuk berekspresi dan berkesenian. Di satu sisi, ada kaum agamawan yang berniat mengontrol ruang publik secara ketat, dan mungkin juga kaku. Di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang hendak menempatkan kebebasan berekspresi dan berkesenian di dalam ruang publik secara total, dan seolah-olah tanpa hambatan.
Pada saat tulisan ini dibuat, Undang-Undang Anti Pornografi (UU AP) baru saja di sahkan setelah sebelumnya menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Rancangan UU ini sebenarnya sudah diajukan pemerintah ke DPR RI sejak tahun 2002. Entah mengapa, anggota dewan pada saat itu belum mau mengesahkannya. RUU ini baru dibahas kembali secara serius dan disahkan oleh anggota Komisi VIII DPR RI, hasil pemilu legislatif tahun 2004.
Sejak awal keputusan DPR yang ingin membahas RUU Anti Pornografi untuk kemudian disahkan menjadi UU, pro dan kontra terhadap keberadaan RUU sudah bermunculan. Mereka yang pro menginginkan adanya UU yang tegas yang melarang segala hal yang berbau pornografi dan pornoaksi. Sementara yang kontra, mengaku bukannya tidak kesal dengan maraknya pornografi di negeri ini, tapi mereka menginginkan pengaturan masalah pornografi tidak merugikan sebagian masyarakat yang lain.