Waktu terus berputar seperti jarum jam. Selamat datang tahun 2009: tahun (yang) baru. Ramai-ramai kita merayakannya dengan gembira, masing-masing dengan tingkah-polahnya: pawai, plesiran, mencari peruntungan lewat ramalan, bikin resolusi akhir tahun, atau adapula yang menyampaikan doa dengan khidmat. Orang-orang berucap: semoga setahun ke depan hidup lebih baik, rejeki bertambah, tercukupi sandang pangan, kemiskinan berkurang, dan tak ada lagi bencana.
Suatu kewajaran bila kita berharap sesuatu yang lebih baik di tahun depan. Hanya saja kita juga mesti tabah, karena harapan-harapan kita itu lebih sering terbang begitu saja entah kemana. Hilang diterpa angin puting beliung, dihanyutkan banjir, dan tertimbun tanah longsor. Betapa seringnya apa yang kita angankan dan kita pikirkan jauh di atas kenyataan apa yang kita dapatkan.
Bukankah tahun baru setahun yang lalu, kita juga pernah berucap hal sama seperti kali ini. Bahkan di tahun baru setahun sebelumnya lagi juga begitu. Tahun baru 10 tahun yang lalu sepertinya begitu juga. Harapan-harapan yang kita ucapkan tak beranjak dari yang itu-itu saja. Kalau begitu mungkin tahun depan kita juga akan mengucapkan harapan yang sama seperti tahun ini.
Kita masih berada di “Ruang” yang sama namun dalam perentangan waktu yang berbeda. Ruang itu bernama Indonesia. Sebuah wilayah geografis yang terbatas dan punya batas. Yang masih banyak kemiskinan di dalamnya, yang masih penuh dengan ketimpangan, yang penuh dengan kondisi keterbelakangan. Karena setiap tahun masalah yang kita hadapi tak beranjak dari persoalan yang itu-itu saja, maka harapan dan doa yang diucapkan hanya pengulangan tiap tahun saja.