Menyikapi Polemik #Tagar dengan Bijak

2019 melek bhs arab ok2

Mengamati riuh rendahnya dunia media sosial, tak dipungkiri, tagar atau hashtag punya peran besar dalam meramaikannya. Gara-gara tagar, banyak peristiwa di dunia menjadi populer dan mampu menggerakkan massa. Sekedar menyebut contoh, saat tagar menjadi salah satu alat penggerak revolusi Mesir, Januari 2011. Tagar #jan25 di Mesir meningkat seminggu sebelum Presiden Hosni Mobarak lengser.Peran generasi milenial, yang merupakan 60% dari pengguna internet di Mesir, diyakini sangat besar. Merekalah yang berkumpul di Tahrir Square, Kairo, menuntut turunnya Mobarak setelah 30 tahun berkuasa.

Masih ingat tagar #KoinKeadilan yang dibuat untuk menyatakan simpati kepada Prita Mulyasari yang harus membayar denda kepada RS Omni karena ia didakwa mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut. Masyarakat yang simpati pada Prita ramai-ramai mengumpulkan uang koin, hingga akhirnya terkumpul dana yang terhitung fantastis.

Tagar #telolet atau #OmTeloletOm, bisa dengan cepat viral hingga menjadi trending topic dunia selama dua hari, meskipun bukan topik yang penting. Namun, topik ‘yang tidak penting’ ini jugalah yang membuat dunia media sosial yang penuh perbedaan dan kebencian menjadi lucu dan menyenangkan.

Publik juga tidak lupa tagar #KamiTidakTakut yang menunjukkan keberanian warga melawan aksi terorisme dan berbagi dukungan saat terjadinya aksi penembakan oleh teroris di daerah Sarinah, Jakarta, Januari 2016 lalu. Menyusul tagar #PrayForJakarta, masih tentang kejadian bom Sarinah yang menjadi perhatian dari masyarakat dunia.

Ketika timmas sepak bola Indonesia masuk final dalam piala AFF 2016 lalu, beragam tagar, seperti #AyoIndonesia, #IndonesiaJuara dan #IndonesiaBisa berseliweran di media sosial, mengalahkan tagar yang sedang tren saat itu.

Selain sukses menggerakkan massa, tagar juga mampu menimbulkan simpati, menciptakan kebencian, hingga membangkitkan semangat. Misalnya saja, #SaveAhok sempat menjadi trending topic saat  Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diperiksa Bareskrim. Tujuan tagar dari para pendukung Ahok ini adalah untuk saling berbagi dukungan membela dan semangat.

Ada lagi #PresidenKemana yang mempertanyakan keputusan Presiden Jokowi mengapa tak mau menemui perwakilan massa aksi saat Aksi Damai 4 November tahun lalu. Sayangnya, isi posting-nya lebih banyak memfitnah dan menghina Presiden Jokowi, seperti mengatakan ia pengecut dan pencitraan.

Namun, ketika Presiden Jokowi hadir menemui massa di Aksi Damai 2 Desember lalu, muncullah #Jokowi212, yang kebanyakan berisi apresiasi akan kehadirannya, bahkan ikut shalat Jumat bersama massa. Sebelumnya, #SuperDamai212 yang diciptakan menyambut aksi damai umat Islam di Monas itu terbukti membuat semua yang datang bisa bersikap tertib dan tidak anarkis.

Belakangan tanda pagar tersebut kembali menjadi tren di dunia maya, setelah tagar #2019GantiPresiden digagas oleh salah seorang politikus partai politik. Polemik sempat meruncing ketika tagar berbalas tagar lain #Jokowi2Periode dan #DiaSibukKerja.

Pertempuran politik pun tidak hanya terjadi pada diskusi televisi, tetapi terjadi pula di media sosial melalui tagar. Masing-masing melakukan propaganda untuk mempengaruhi persepsi pengguna media sosial dan membentuk opini publik.

Nah, sampai di sini ada yang masih meragukan pentingnya tagar (hashtag) di media sosial? Masih kah kita menganggap tagar cuma sekadar cari sensasi, demi “trending topic“, ataukah ada ekspektasi lain yang lebih esensial?

Apa Itu Tagar?

Mengutip Wikipedia, tagar adalah gabungan dari kata tag dan pagar, dalam bahasa Inggris disebut hashtag. Tanda tagar adalah tanda pagar (simbol #) yang diletakkan di awal kata atau frasa yang diketikkan pada jejaring sosial.

Sebelumnya, tagar digunakan oleh industri lain, seperti pengganti kata nomor (nomor 7 menjadi #7), di pesawat telepon, serta jaringan Internet Relay Chat (IRC) untuk mengelompokkan topik dan kelompok tertentu. Pada tahun  2007, Chris Messina memopulerkannya lewat Twitter, hingga sekarang akhirnya digunakan di platform media sosial lainnya seperti Instagram, Facebook, Tumblr, dan lain sebagainya.

Fungsi tagar yang pertama yaitu untuk pengelompokan konten. Tagar bisa digunakan untuk ditambahkan pada postingan berupa teks, foto, video, event, dan lain-lain. Dengan menyertakan tagar pada postingan tersebut, maka nanti semua update-an tentang postingan yang dibuat akan terorganisir dan terkelompok dengan baik.

Bagi orang-orang yang juga ingin mengikuti update seputar postingan tersebut, mereka bisa mengetikan tagar yang dimaksud. Melakukan pencarian terhadap konten yang diinginkan pun semakin mudah. Misalnya saja kita ingin mencari konten yang berhubungan dengan Jakarta, maka kita tinggal mengetik tagar #Jakarta pada kolom search di setiap media sosial. Maka semua konten yang berhubungan dengan Jakarta pun akan muncul.

Selain untuk pengelompokan konten dan memudahkan pencarian, fungsi tagar juga berguna untuk kebutuhan branding dan promosi di media sosial. Dengan cara membuat tagar yang spesial pada setiap postingan, maka akan menjadikan ciri khas bagi sebuah brand. Misalnya saja seperti situs Bukalapak yang menggunakan tagar #negocincai untuk mempromosikan fitur nego terbarunya.

Tagar juga dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan sebuah event. Kita bisa menyertakan tagar #lombamenulis untuk promosi sebuah event lomba menulis atau #diskonakhirtahun untuk memberikan pengumuman pada postingan event diskon akhir tahun.

Selanjutnya, tagar juga bisa digunakan untuk melakukan kampanye lintas platform media sosial. Misalkan saja, jika biasanya kita menyertakan tagar di Twitter, maka dengan menyertakan tagar di media sosial seperti Facebook atau Instagram tentang postingan yang sama, maka post yang kita share di Twitter akan muncul pula di Facebook atau Instagram dengan mudah karena adanya tagar yang sama tersebut. Dengan kata lain, tagar yang kita tulis di satu media sosial akan dengan mudah ditemukan juga di media sosial lainnya.

Keberadaan tagar di media sosial, juga dinilai dapat memberikan manfaat lebih khususnya untuk pemasaran atau promosi secara online. Walaupun terkadang, tagar juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan personal branding.

Yang pasti, penambahan tagar  membuat banyak orang sadar, bahwa ada ‘sesuatu’ di balik pesan yang disampaikan, baik promosi produk atau event tertentu. Untuk masalah sosial politik dan berbentuk gerakan, tagar digunakan sebagai headline kampanye atau sosialisasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Bijak Menyikapi Tagar

Fenomena tagar memang sudah layak terjadi, terutama di era keterbukaan informasi digital sekarang ini. Tren tagar itu sendiri bukan perkara baru, sebab sebelumnya orang sudah mulai perang opini lewat simbol-simbol. Hal itu tak lebih dari sekadar tren komunikasi dan pertarungan ide.

Dalam konteks pemasaran politik, dengan penyebaran propaganda tulisan, meme, dan kata-kata pendek, diakui cukup efektif untuk menanamkan pengaruh. Pun, dalam jangka panjang, tagar yang mewujud dalam kaos dan merchandise  bisa membentuk kesadaran artifisial, sesuai tujuan sang propagandis.

Meskipun bukan ancaman, polemik penggunaan tagar tertentu, telah menimbulkan persepsi keliru di kalangan pengguna media sosial dan netizen di tanah air. Sayangnya, diskusinya yang berkembang kemudian sudah sangat liar dan jauh dari pertarungan ide dan gagasan yang membangun alias konstruktif. Sebaliknya, perbedaan pandangan (politik) sudah mengarah kepada tudingan dan sikap bermusuhan yang memojokkan, menghina, tidak produktif, bahkan sudah menjadi fitnah yang bukan saja melanggar hukum negara, tapi juga hukum agama.

Sudah saatnya, pengguna jejaring media sosial diberikan edukasi agar menggunakan tagar dengan relevan, bijak dan tepat. Jangan berlebihan ketika menyertakan tagar dan tetap sampaikan semuanya dengan jujur namun tetap menarik.

Perbedaan orientasi sosial politik yang terwujud dalam tagar itu sah-sah saja di alam demokrasi bahkan perbedaan dianggap rahmat dalam agama Islam, tetapi semuanya harus ditempatkan secara proporsional, cerdas, dan memperkuat diri kita sebagai sesama anak bangsa.

Lebih jauh, para politisi maupun partai politik sebaiknya berusaha untuk mendewasakan logika politik rakyat, tidak hanya berupa tagar tetapi memberikan argumen yang kuat yang menjelaskan logika dan konten di balik tagar tersebut.

Netizen sudah harus mulai berpikir positif dan rasional dengan tidak serta-merta menyebarkan tagar dan informasi tanpa sumber yang jelas. Kemudian harus dipikirkan pula dampak dari penyebaran sebuah konten itu bagi dirinya dan masyarakat. Dengan menyebarkan konten yang dianggap rentan, netizen bisa terjerat tindakan hukum jika ternyata isinya adalah hoax.

Wallahu a’lam.

Leave a comment