Dalam perspektif dan kaca mata orang-orang kebanyakan di daerah, datang ke Banjarmasin adalah sebuah impian. Sehingga boleh dikatakan Banjarmasin bagai kota surgawi yang diharapkan bisa memanjakan segala kebutuhan akan kehidupan penghuninya.
Akan tetapi, kata impian dan surgawi sudahkah melekat di Ibukota Kalimantan Selatan kini? Seperti kita ketahui, mungkin juga kita baca dalam setiap media cetak lokal selalu memuat berita tentang Banjarmasin terutama dengan berbagai masalahnya.
Kota ibarat tubuh manusia; ada kepala, badan serta kaki. Dari ketiga bagian utama organ tersebut ada jaringan penghubung yang fungsinya sangat vital, yang memberi magnet-magnet kehidupan. Kalau jaringan itu ibarat sebuah sistem transportasi yang memiliki kedudukan sangat strategis dalam hal ini, maka sudah sepatutnya untuk ditelanjangi sehingga kita semakin tahu dimana sakitnya. Karena ibarat luka kronis yang tidak tersembuhkan oleh obat dari tabib sehebat Ratanca dalam Legenda Majapahit sekalipun, selalu akut dan muncul dengan tiba-tiba.
Ibukota seharusnya lebih baik dari kota-kota lainnya, bagaimana tidak, semenjak masa kuda masih mengigit besi sampai kuda naik besi, dari masa kolonialisme hingga masa dekonstruksi, selalu dan selalu tak terselesaikan. Permasalahan-permasalahan yang ada telah juga dikaji secara ilmiah yang dilihat dari berbagai aspek oleh para akademisi serta ahli yang pakar di bidangnya. Oleh karena itu paparan dibawah ini ibarat catatan-catatan kecil yang tercecer dalam benak hati seorang pejalan di antara deru debu dan panasnya Banjarmasin.