Buku, Tradisi Menulis dan Kebangkitan Nasional

Sebagai urang banua, mari kita lanjutkan tradisi hebat yang dibangun Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Di zaman mesin tulis belum populer, apalagi komputer dan internet, beliau telah menulis belasan buku. Ketika etnik-etnik Nusantara lainnya belum menulis, Datuk kita telah mencontohkan bagaimana menulis sangat positif. Buku beliau dipakai di manca negara. Paling populer, Sabilal Muhtadin…” (Ersis Warmansyah Abbas)

Menulis di kalangan Islam, sebenarnya mempunyai akar sejarah yang sangat kuat. Ini dibuktikan dengan banyaknya karya-karya cendekiawan muslim, yang bisa kita lihat dan kita baca sampai sekarang. Di mana dengan berbagai karyanya tersebut, para cendekiawan Islam dikenal tidak hanya di kalangan Islam sendiri, tetapi juga oleh orang non muslim.

Avessina (Ibnu Shina), adalah contoh kecil cendekiawan muslim yang kepakarannya terutama di bidang kedokteran, sangat diakui. Di mana buah karyanya berjudul al Qanuun fi al-Thibb, menjadi rujukan oleh mereka yang belajar kedokteran. Bahkan dengan karyanya itu, ia “dinobatkan” sebagai bapak kedokteran dunia.

Cendekiawan lain adalah Imam al-Ghazali. Di mana magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin, konon menjadi rujukan oleh negeri Barat (dan Eropa) selama lebih kurang 7 abad lamanya.
Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.

Buku, jendela dunia itu, telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Dunia yang maju, modern, dan penuh dengan kejutan-kejutan teknologi yang memudahkan seseorang dalam melakukan berbagai hal. Berkat buku, yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan, telah menjadikan dunia menjadi lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison telah menemukan listrik. Kita bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan kereta api, berkat mesin uap yang ditemukan Jamess Watt. Dan lain sebagainya.

Dalam ilmu pengetahuan, Islam bukanlah sekadar penonton yang hanya bisa melihat berbagai perkembangan ilmu pengetahuan yang telah merubah dunia. Karena banyak cendekiawan muslim itu yang telah mencurahkan pemikirannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Sedikit cendekiawan Islam yang telah mengharumkan nama Islam adalah Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi (ahli Matematika), Ibnu Al-Haytsam (ahli Eksprimentalis), Al-Biruni (ahli Fisika), Ibnu Shina (Kedokteran), dan Ar-Razi (ahli Kimia).

Hebatnya, para cendekiawan tersebut, kebanyakan adalah ulama besar, yang, selain dihormati karena kepakarannya dalam bidangnya masing-masing, juga karena kedalaman ilmu agamanya. Mereka tidak mengkotak-kotakkan ilmu agama atau non agama. Karena semua ilmu yang ada di dunia adalah ilmu Allah Swt., yang harus dipelajari dan tidak boleh disia-siakan begitu saja.

Yang harus menjadi catatan adalah, para cendekiawan tersebut, dikenal luas oleh masyarakat beserta pemikiran-pemikirannya, adalah berkat karya tulis (buku/ kitab) yang dihasilkannya.

Di Indonesia

Tradisi menulis di Indonesia, juga mempunyai tradisi yang amat kuat. Banyak para cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya-karya tulis yang lain. Kebanyakan dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.

Para kyai dan santri yang dikenal sebagai kaum sarungan di Indonesia, juga tak sedikit yang meninggalkan karya-karya tulis yang masih dipelajari oleh berbagi pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kyai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Maky, adalah sedikit ulama (kyai) asli Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.

Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indonesia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama. Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaikh Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini tetap dibaca orang di berbagai masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Raya di Banjarmasin. Nama kitabnya yang lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makam Syaikh Arsyad. Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Muhammad Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Sekumpul, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Bahkan hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-murid syaikh.

Selain tokoh-tokoh di atas, dalam dunia ke-Kyai-an dan kepenulisan di tanah air, kita akan menemukan nama-nama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Mustofa, KH. Syarwani Abdan, dan masih banyak lagi.

Selain itu, berbagai Kyai bahkan banyak yang karyanya belum terpublikasikan secara luas, sehingga kurang dikenal oleh masyarakat dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas. Kitab Faidl al-Barakat karya KH. Arwani Amin, misalnya, yang hingga kini juga banyak masyarakat yang kurang mengenalnya. Barangkali karena kitab yang ditulis ketika salah satu kharismatik keturunan Pangeran Diponegoro ini, memang ditujukan sebagai panduan belajar qira’at sab’at.

Menurut KH. Sya’roni Ahmadi, adik KH Arwani Amin, meski meninggal pada umur yang masih muda, ternyata beliau juga meninggalkan sebuah karya berjudul “Inqadz al Gharib”, yang tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang. Padahal, menurut Kyai yang mengisi pengajian tetap di Masjidil Aqsa Menara Kudus setiap Jum’at pagi ini, karya Ahmad Da’in sangat bagus untuk dipelajari, terutama oleh kalangan pesantren.

Tercatat, bahwa para cendekiawan muslim Timur Tengah seperti Ibnul Qayyim Al Jauziyah dengan karya utamanya Madarijus Salikin, Sayyid Quthb dengan Fi Zhilalil Qu’ran (Di Bawah Naungan Alquran) dan Yusuf Qaradhawi yang berkibar sebagai ulama Mesir karena produktifitasnya menulis buku, yang telah diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Diantara karya Yusuf Qaradhawi adalah Fatwa-fatwa Kontemporer, Fiqh Prioritas, Fiqh Perdagangan Bebas, Fiqih Zakat, Halal-Haram dan Berinteraksi dengan al-Qur’an.

Senada dengan itu, para Kyai Indonesia juga banyak yang menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al Alim wa al Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al Ghayah al-Ushul.

Terlupakan

Banyak memang karya-karya monumental para cendekiawan Islam atau ulama (kyai) yang seakan mengalami masa keemasan. Namun sayang, tradisi menulis itu, kini lengang dan seakan mati suri. Tak banyak penulis dari kaum santri intelektual (pesantren) yang muncul. Menurut Dr. Abdul Muhayya, kondisi ini karena diantaranya karena kurangnya apresiasi pesantren terhadap karya tulis, padahal pesantren itu punya banyak local wisdom yang bisa digali.

Penulis buku Bersufi dengan Musik yang juga Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang ini menambahkan, bahwa sudah saatnya kaum pesantren bangkit dan memulai lagi tradisi yang telah lama ditinggalkan itu. “Tidak hanya tulisan-tulisan berbahasa Arab yang harus diapresiasi. Tapi apa saja. Kita harus meninggalkan statemen Arab itu bahasa surga sebagai mainstream.”

Dan yang paling penting juga diingat, bahwa dalam hal ilmu, yang paling penting adalah substansi, bukan simbol. Meski bahasanya Jawa atau Sunda, kalau memang bagus, bukankah itu layak diapreasiasi?

Pada momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei) dan Hari Buku Nasional (21 Mei) ini sudah selayaknya kita semua menjadikan tradisi menulis dan membaca buku sebagai teman yang paling akrab. Dengan buku, pengetahuan kita bertambah. Dengan buku kita dapat menginternalisasikan semua pengetahuan hingga mengubah pola berpikir dan tindakan kita pada arah yang lebih bijaksana. Dan pada akhirnya bermuara pada transformasi diri, sosial masyarakat, hingga transformasi arah kebangkitan bangsa yang lebih beradab.

Bagaimana saudara-saudara?

3 Comments »

  1. Zul ... said

    Pesantren telah memberikan banyak catatan sejarah dalam menurunkan tradisi baca dan tulis. Kitab Sabilal Muhtaddin yang sangat fenomenal itu justru ditulis oleh seorang guru (Arsyad Al Banjari) pada zaman di mana tradisi lisan masih lebih kuat dari tradisi tulis.

    Maka itu, tugas kitalah meneruskan tradisi baca dan tulis itu sambil mengimbangi tradisi tonton yang makin menguasai.

    Tabik!

  2. biar corat coret kada karuan …tapi manfaat tulisanya ..banyak infonya…
    yg kd tau jd tau…yg tau jd tempe..eh salah..jd tambah mengerti..sukses

  3. atikah said

    Terima kasih, ya. Coretannya bagus, menambah wawasan, dan penuh makna. Senang sekali ketemu blog ini

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Leave a comment