Pengemis dan Ironi “Kota Tua” Banjarmasin

Pernah dimuat pada harian Radar Banjarmasin dan Barito Post/ Selasa, 27 Mei 2008

Sudah menjadi tradisi bagi warga kota Banjarmasin untuk menyaksikan begitu banyaknya kaum papa yang bertebaran di setiap sudut kota. Mungkin karena Banjarmasin adalah barometer ibukota propinsi yang sering diidentikkan bahwa kota besar selalu menampung manusia-manusia miskin yang kalah melawan arus kota.

Hanya mereka yang benar-benar siap menjadi orang kotalah yang dapat terus bertahan mengais hidup
di Banjarmasin. Tentunya bukan tidak mungkin di antara mereka harus ada yang rela menjadi korban ke-modern-an kota, bahkan teori kelicikan juga harus dipelajari untuk terbiasa dengan kehidupan Banjarmasin yang sering main sikut. Benar kata kiasan “Ibu kota lebih kejam dari Ibu tiri”, hanya orang yang bisa lebih kejam yang dapat menaklukan kota Banjarmasin.

Sedangkan para gelandangan dan pengemis adalah salah satu contoh manusia-manusia marginal dan kalah, kesalahan mereka karena pasrah pada nasib yag menjadikan mereka kalah.

Bukankah hidup di Banjarmasin untuk merubah nasib?

Sampai-sampai semakin maraknya tindakan kriminalitas yang dilsayakan orang-orang yang merasa hanya dengan berbuat jahat mereka dapat merubah nasib yang lebih dulu menjahati mereka. Kemiskinan telah mengkontaminasi pikiran mereka sehingga meghalalkan berbagai macam cara yang dianggap sebagai penawarnya.

Pandangan masing-masing orang memang berbeda melihat berbgai situasi ini. Jika dipikir secara nurani, tentulah mereka pantas mendapat iba, kita hanya dapat berbicara karena tidak sedang dalam posisi mereka.

Tapi terkadang kita yang sudah letih menghidupi diri sendiri berpikir dan memvonis itu semua adalah takdir yang harus mereka terima. Dampaknya sering merasa gerah melihat tampang dan tingkah lsaya mereka yang menambah keruwetan hidup di kota Banjarmasin.

Semuanya belum ditambah dengan versi lain yang menggunakan kedok sebagai perantara untuk menolong sesama atau mendirikan tempat ibadah. Ibadah adalah kewajiban yang takkan ada arti tanpa
dibarengi niat. Dengan niat yang tulus, Allah pasti akan mengabulkan doa hambanya.

Tapi apa jadinya jika niat tersebut hanyalah sebuah kedok demi mendapatkan nominal. Bahkan lebih berdosa lagi jika ayat-ayat suci diikut sertakan sebagai bagian dari kebohongan. Allah sendiri
tidak pernah memaksa umatnya untuk berbuat sesuatu yang melebihi kemampuan, bukankah niat dari ibadah itu sendiri yang lebih penting dibandingkan membangun tempat ibadah yang disertai berbagai kecurangan demi mendapatkan keuntungan.

Sebagai penganut agama mayoritas di negara ini, saya merasa malu melihat keadaan ini. Mengapa begitu sering di kota Banjarmasin ini saya melihat mereka meminta-minta demi alasan membangun tempat ibadah. Sudah begitu miskinkah saudara-saudara saya yang seiman? Atau memang begitu
kikirnya sehingga harus ada yang meminta-minta disertai perkataan-perkataan ayat suci yang menambah nilai jual kebohongan tersebut.

Ujung-ujungnya secara logis kita dapat berpikir semuanya itu karena rupiah. Begitu fatalnya
permasalahan ini jika karena daya tarik uang, mereka yang membutuhkan berani menjadikan alasan menolong sesama dan mendirikan tempat ibadah sebagai kedok.

Berjubelnya manusia di kota Banjarmasin memang seakan tak pernah berkurang, sebagian dari mereka yang tersisih terus mencoba bertahan hidup dengan berbagai cara tanpa memikirkan masa depan yang
lebih cerah.

Masih menarikkah gemerlap kota besar ini, jika mereka yang picik hanya menganggap kalian sampah?

Mungkin karena yang meraka punyai sekarang hanya kepasrahan dan berusaha untuk semakin kebal
menerima derita hidup. Sementara itu, tiap saat selalu saja ada orang-orang baru yang berdatangan dari berbagai daerah, merasa tergiur dengan iming-iming kota untuk mengkais remah-remah kehidupan yang cuma berbekal nasib mujur.

Haruskah saya memandang permasalahan ini seperti pandangan mereka, manusia-manusia kritis yang selalu menyalahkan pemerintah. Kalau memang begitu, saya hanya bisa berpendapat seharusnya dari
awal permasalahan ini sudah ditindak lanjuti secara serius, tentu tidak akan menjadi bumerang seperti yang terjadi saat ini.

Tapi tentunya tidak ada yang dapat saya katakan lagi, jika situasi yang terjadi saat ini sebenarnya manusia-manusia yang hidup di kota Banjarmasin sudah bersikap tak acuh dan lebih mementingkan hidupnya nafsi-nafsi.

Dari itu semua saya merasa lebih baik saya berpikir untuk mengambil jalan tengahnya saja, berbagai masalah sosial yang terjadi di Kota Banjarmasin adalah kondisi lumrah yang sering terjadi pada bangsa
berkembang lainya. Tapi bukan berarti tidak ada cara untuk menuntaskanya. Hanya dengan niat tulus dari masing-masing orang yang mencintai bangsa ini lah yang dapat menjadi motivasi untuk tujuan yang baik ke depannya.

Karena walau bagaimanapun yang terjadi di Ibukota tentunya juga berpengaruh secara tidak langsung ke daerah-daerah lain.Kita semua tentunya tidak ingin Banjarmasin menjadi kota pengemis yang dapat mencirikan bangsa kita sebagai bangsa yang miskin di mata dunia.

Akankah selamanya kita menjadi bangsa pengemis? Seharusnya tidak. Itu bisa terjadi manakala upaya menjadikan tangan kita tidak lagi berada di bawah sungguh-sungguh dilakukan. Ia tidak cuma menjadi kayu bakar dalam setiap pilpres, pilkada, atau pilkaret. Dalam setiap kesempatan mestinya ditanamkan ke dalam dada setiap warga Banua untuk malu meminta-minta.

Berubah dari bangsa pengemis menjadi pekerja keras tentu memerlukan waktu yang tidak sebentar. Barangkali perlu 10 generasi untuk melakukan transformasi mental tersebut. Namun bukan mustahil itu akan terjadi lebih awal jika kita memang tak ingin terpuruk terus-menerus di antara warga dunia.

Apapun pilihan yang diambil, menjadi pengemis atau pekerja keras, akan berimplikasi pada bangsa ini. Karena itu bertanyalah pada hati nurani kita, mengapa kita masih saja mengemis pada manusia? Tanya kenapa?

Maafkan tulisan yang cuma “sekedar” refleksi pribadi ini, semoga tidak mengurangi niat untuk menjadikan kota Banjarmasin sebagai ibu kota impian warga Banua.

3 Comments »

  1. hamsin said

    ass…umpat mengomentari lah.saya rasa itu sudah bagian dari fenomena masyarakat kota, gak ada salahnya kita untuk peduli terhadap mereka..mksih

  2. bagdies said

    umpatan jua nah
    kasini pang buhan pengemis tuh
    mereka juga manusia sam seperti kita
    by http://www.kawasah.co.cc

  3. Arul said

    Memang sulit memutuskan situasi seperti ini, satu sisi kita mesti memperhatikan nilai-nilai kemanusian, dan di sisi lain kita mesti menjaga kondisi kota yang bersih, tertib dan aman!! lantas kalau di hadapakan dengan masalah seperti ini harus gimana????

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Leave a comment