De Javu di Hari Kebangkitan Nasional

Waktu terus berputar seperti jarum jam. Tanggal 20 Mei tahun 2008: Hari Kebangkitan Nasional baru saja berlalu. Ramai-ramai kita merayakannya dengan gembira, masing-masing dengan tingkah-polahnya: pawai, apel kebangkitan, bazaar, demonstrasi, bikin resolusi, atau adapula yang menyampaikan doa dengan khidmat. Orang-orang berucap: semoga ke depan hidup lebih baik, rejeki bertambah, tercukupi sandang pangan, kemiskinan berkurang, dan tak ada lagi bencana.

Suatu kewajaran bila kita berharap sesuatu yang lebih baik di hari kebangkitan nasional bangsa. Hanya saja kita juga mesti tabah, karena harapan-harapan kita itu lebih sering terbang begitu saja entah ke mana (?). Hilang diterpa angin puting beliung, dihanyutkan banjir, dan tertimbun tanah longsor. Betapa seringnya apa yang kita angankan dan kita pikirkan jauh di atas kenyataan apa yang kita dapatkan.

Bukankah di hari Kebangkitan Nasional setahun yang lalu, kita juga pernah berucap hal sama seperti kali ini. Bahkan di Harkitnas setahun sebelumnya lagi juga begitu. Harkitnas 10 tahun yang lalu sepertinya begitu juga. Harapan-harapan yang kita ucapkan tak beranjak dari yang itu-itu saja. Kalau begitu mungkin tahun depan kita juga akan mengucapkan harapan yang sama seperti tahun ini.

Kita masih berada di “Ruang” yang sama namun dalam perentangan waktu yang berbeda. Ruang itu bernama Indonesia. Sebuah wilayah geografis yang terbatas dan punya batas. Yang masih banyak kemiskinan di dalamnya, yang masih penuh dengan ketimpangan, yang penuh dengan kondisi keterbelakangan. Karena setiap tahun masalah yang kita hadapi tak beranjak dari persoalan yang itu-itu saja, maka harapan dan doa yang diucapkan tak lebih hanya pengulangan tiap tahun saja.

Tapi beruntung kita masih mengenal Hari Kebangkitan Nasional. Jadi kita bisa sedikit bergaya: berdasarkan indikator tertentu kita lebih baik dari tahun kemarin lho! Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Bupati akan bikin hitung-hitungan. Berapa koruptor yang diadili pada tahun 2007, berapa pula yang dieksekusi pada tahun 2008. Begitupula angka kemiskinan tahun lalu dibandingkan tahun ini. Hasilnya? Beda tahun tapi sama rekornya: sama-sama banyaknya. Jumlah koruptornya banyak tapi sedikit yang diadili apalagi masuk penjara. Angka kemiskinannya juga sama: hanya beda-beda tipis. Kita hargai saja niat mereka untuk memberantas korupsi, juga memberantas kemiskinan. Meski masih sebatas niat, sudah Alhamdulillah.

Kita jangan hanya mencatat yang jelek-jeleknya saja, kata Pak Presiden. Ini Indonesia tahun 2008, bukan Indonesia sepuluh-dua puluh tahun lalu. Bukankah di mana-mana kita berhasil melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Kita memperoleh pemimpin baru secara demokratis. Kita sudah bebas bicara, kita tak lagi seperti Myanmar yang otoriter pemerintahnya. Bukankah dengan itu kita dielu-elukan sebagai negara demokrasi terbesar, di mana hanya Amerika yang mampu menyaingi? Cina, Jepang, Arab Saudi bukan apa-apanya dibanding Indonesia dalam hal demokrasi (prosedural). Mereka perlu belajar dari Indonesia. Ini catatan positif yang bisa dibanggakan, meski jika boleh jujur kita belum begitu memahami dan menerapkan substansi demokrasi yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi yang kita pahami ya demokrasi coblos-coblosan, demokrasi pemungutan suara.

Sementara kita sudah bicara soal demokrasi, penghapusan kemiskinan, berantas korupsi dan lain sebagainya yang baik itu, namun struktur yang dipakai masih stuktur yang lama, kebiasaan kita masih kebiasaan lama, kesalahan kita masih kesalahan yang lama. ‘Keusangan struktur” kata Anthony Giddens, seorang teoritisi strukturalisme dari London, Inggris.

Misalnya saja, rutinitas tindakan atau praktik suap menyuap kita pada akhirnya akan membentuk struktur KKN di Indonesia. Ketidakjujuran dalam proses peradilan yang berlangsung lama akan membentuk strukur mafia peradilan. Ini akan menjadi keterulangan dan akhirnya berputar-putar saja kerjanya. Kita kemudian menjadi terbiasa dengan hal itu. Kita tak akan lagi kaget ketika mendengar seorang gubernur atau anggota DPR terlibat kasus korupsi, misalnya. Sebagaimana kita tak perlu bertanya mengapa makan dengan tangan kanan, para pejabat yang melakukan korupsi tak perlu bertanya mengapa mereka korupsi. Korupsi sama halnya makan, sudah menjadi kebiasaan.

Pemerintahan orde baru berkuasa selama 32 tahun, dan selama itu struktur sosial orde baru terbentuk. Inginnya perubahan, maunya reformasi, namun struktur yang dipakai masih struktur orde baru. Katakanlah si orde baru yang hidup di era reformasi. Praktik suap menyuap di mana-mana, mafia peradilan tak ketulungan, instansi-instansi penegak hukum mandul, pegawai negeri banyak yang tak punya etos kerja, pelayanan publik tak berjalan prima, dan cara pemerintah mengatasi kemiskinan masih sama dengan masa lalu.

Jika penyakitnya sudah kronis, kita harus memangkas struktur yang usang, membuangnya dan menggantinya dengan yang baru, yang sesuai dengan kebutuhan. Perubahan struktur berarti perubahan skema agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus berkembang secara baru. Kalau tidak, berarti kita akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Semacam kesalahan yang kita ulang setiap tahun, dari masa ke masa, sehingga perubahan itu tak datang-datang juga. Kita sering lupa dengan kesalahan-kesalahan itu. Kita hanya seolah-olah merasa pernah mengalami hal yang sama. De javu namanya. Kebaikan yang berulang, itu keberkahan. Sementara kesalahan yang berulang bencana namanya.

Kok saya merasa sepertinya hal ini pernah terjadi? Semuanya diputar kembali setiap tahunnya: kemiskinan, ketertinggalan, korupsi,… Mungkin pada Hari Kebangkitan Nasional tahun depan, saya masih menulis hal yang sama. De javu Hari Kebangkitan Nasional di tahun 2008!

Leave a comment