Kebangkitan Nasional, Antara Harapan dan Realita

Bulan Mei identik dengan kebangkitan nasional. Perkumpulan priyayi Jawa bernama Budi Utomo disebut-sebut sebagai motor penggeraknya. Walau masih terbatas di Pulau Jawa, Budi Utomo dianggap menjadi “cikal bakal” embrio kebangkitan nasional bangsa Indonesia.

Meskipun hingga kini ahli sejarah masih melakukan kajian mendalam tentang tahun dan nama kelahiran kebangkitan nasionalisme tersebut, mengingat munculnya pandangan bahwa organisasi tersebut bukan dalam lingkup nasional dan hanya mewakili kalangan Jawa.

Tetapi, paling tidak, telah terjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap penjajah oleh mahasiswa kedokteran Stovia yang notabene sekolah milik pemerintahan penjajah. Merupakan kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi stimulant dan pijakan awal kebangkitan nasional.
Penulis tidak bermaksud membahas khilafiah tentang nasionalisme ataukah jawanisme sebuah pergerakan, tetapi lebih pada substansi tumbuhnya rasa perlawanan terhadap penjajahan Belanda ketika itu justru dimulai dari sebuah sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah Belanda.

Penggagasnya adalah Dr Wahidin Sudirohusodo. Bersama sejumlah mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Kedokteran Bumiputra), ia mengajukan usul untuk membentuk perhimpunan dengan tujuan mengusahakan persatuan kaum bumiputra yang sedapat mungkin bersifat umum. Walau digagas oleh orang-orang Jawa (penghuni Pulau Jawa) dan bersifat lebih kejawaan (Jawa, Sunda dan Madura), tetapi perhimpunan ini bersifat terbuka untuk semua orang pribumi, berbeda dengan perhimpunan pribumi sebelumnya yang bersifat eksklusif dan tertutup. Lalu sejumlah nama seperti Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh dan Soeleman dikaitkan dengan proses berdirinya perhimpunan Budi Utomo ini.

Berdirinya Budi Utomo, ternyata langsung mendapat sambutan hangat sejumlah mahasiswa dan orang-orang pribumi lain. Dukungan mengalir dari beberapa sekolah pribumi seperti Sekolah Pertanian (landbouwschool) di Buitenzorg (sekarang Bogor), Sekolah Dokter Hewan (Veeartsenijschool) di tempat yang sama, menyusul Sekolah Kepala Negeri (Hoofdenschool) di Magelang dan Probolinggo, Sekolah Malam untuk Penduduk (Burgeravonschool) di Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Bumiputra di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo.

Ada satu energi besar yang bisa menyatukan semua orang-orang pribumi ini. Mungkin karena perasaan senasib dan keinginan untuk memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda). Serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Sementara para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan—yang dalam bahasa kini dinilai bermental korup.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sejarah berdirinya Budi Utomo kemudian tetap dikenang sebagai tonggak kebangkitan nasional. Dan tanggal 20 Mei—sebagai hari berdirinya Budi Utomo—dijadikan sebagai tanggal peringatan kebangkitan nasional hingga ini hari.

Ironisnya, kini semangat kebangkitan nasional mulai luntur. Ada kecenderungan masyarakat untuk kembali pada sifat kedaerahan (primordial). Korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih bercokol, mutu pendidikan yang masih relative rendah, kemiskinan masih setia merajam, kehidupan politik yang tidak atau belum sehat dan sederet persoalan kompleks lainnya.
Muncul pertanyaan di relung publik, apakah kebangkitan nasional masih memiliki “jiwa” dan diresapi oleh masyarakat?

Latar Belakang Budi Utomo

Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan beberapa mahasiswa dan tokoh pemuda pribumi di STOVIA di Jakarta. Para pemuda dan mahasiswa itu juga menyadari bahwa banyak perkumpulan pribumi yang hanya mementingkan golongan sendiri dan tertutup. Sementara Pemerintah Hindia Belanda jelas tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib kaum pribumi. Bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang jelas sangat merugikan.

Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Dr Wahidin dan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja, tanpa melihat kedudukan, kekayaan atau pendidikannya.

Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Manado, Borneo dan Ambon. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya.

Dengan demikian, pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja. Karena menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.

Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa. Padahal dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama.

Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat pro perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata “politik” ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai “tanah air Indonesia” makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa.

Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya, “tanah air” (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah antara lain oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda.

Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij, karena dalam arena politik, Budi Utomo memang belum bisa berbuat banyak.

Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut, yaitu etika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi. Ini mengobarkan amarah rakyat pribumi (bangsa jajahan).

Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel “Als ik Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun sejak itu, Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi. Walau kemudian tafsiran terhadap gerakan perhimpunan Budi Utomo ini menimbulkan berbagai versi yang berbeda, setidaknya bisa ditarik sebuah garis bahwa cikal bakal kebangkitan nasional hadir melalui perhimpunan Budi Utomo.

Jangan Hanya Seremonial

Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa.

Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan orde lama, maka akan terasa betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan pasca-Orde Lama. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur.

Ironisnya, saat ini peringatan Kebangkitan Nasional hanya sekadar sebuah seremonial saja, sehingga arti pentingnya kebangkitan nasional terlupakan. Tentu kita berharap agar momen kebangkitan nasional bukan hanya diperingati secara seremonial belaka, tetapi hendaknya dapat dijadikan sebagai momen introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini, hal ini karena negara Indonesia saat ini benar-benar berada dalam kondisi yang sangat kritis.

Lihat saja keadaannya, korupsi yang semakin parah, mutu pendidikan yang masih rendah, kemiskinan,… dan sederet persoalan lainnya. Saat ini masyarakat sudah banyak kehilangan identitas diri. Seolah-olah nasionalisme itu hanya diartikan sebagai kecintaan terhadap bangsa yang ditunjukkan dengan perayaan-perayaan dan acara seremonial saja. Tetapi sikap nyata untuk membangun bangsa dengan taat hukum, tidak korupsi, menjaga kebersihan, melindungi sesama, memberi toleransi agama dengan kepercayaan masing-masing, tidak diperhatikan sebagai hal mendasar dalam menyikapi nasionalisme.

Secara garis besar Kebangkitan Nasional dapat dimaknai sebagai sikap penentangan terhadap ketidak adilan sosial, penindasan atau pemerasan, kediktatoran atau kesewenang-wenangan segolongan orang atau kelompok politis, pelanggaran hukum atau tindakan apapun yang merugikan masyarakat dimulai dari tingkat lokal, regional dan nasional.

Tanggal 20 Mei 2008, bangsa Indonesia kembali memperingati hari kebangkitan nasional, layak dijadikan moment bagi bangkitnya pemulihan kondisi kepada bangsa yang memiliki budaya malu serta tumbuhnya rasa memiliki dalam konteks ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia memerlukan recovery yang hanya bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Kebangkitan Nasional atau bangkitnya Nasionalisme adalah kemampuan dari seluruh elemen bangsa dalam mengejawantahkan sikap luhur, tulus dan ikhlas membela kepentingan rakyat bangsanya, tanpa harus memilih dan memilah siapa yang dibelanya.

Dengan kata lain, menjadi Presiden, Wakil Presiden, menteri, anggota dewan, gubernur, wali kota atau bupati, camat, lurah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan atau siapapun kita, akan sangat berpeluang bagi bangkitnya rasa nasionalisme yang sebenarnya, ketika memiliki keberanian untuk membela kebenaran yang hakiki, rela berkorban demi kepentingan masyarakat bukan kelompok atau pribadi, demi tegaknya supremasi hukum, demi kemanusiaan, demi bangsa dan negaranya.

Setujukah Anda?

1 Comment »

  1. herisoep said

    bangsa ini bangsa mudah lupa, bangsa ini juga bangsa pendedam, bangsa ini juga mudah kehilangan karakter/jati dirinya. Untuk itu kunci dari permasalahan adalah temukan dan bangun kembali karakter bangsa indonesia yang sebenarnya sehingga akan menjadi ciri, corak dan cara dalam membangun eksistensi bangsanya di dinamika global yang penuh ketidak pastian.

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Leave a comment