Mewarisi Etos Perjuangan Hassan Basry (Sebuah Refleksi Untuk Kebangkitan)

Pernah dimuat pada harian Mata Banua/ Senin, 19 Mei 2008

Saya yakin sungguh-sungguh bahwa jiwa 17 Mei tetap kita miliki dari dulu, sekarang dan pada masa-masa yang akan datang.” (Pidato Hassan Basry, 17 Mei 1963)

Kenalkah Anda dengan Hassan Basry, seorang pahlawan nasional dari Kalimantan Selatan yang wajahnya hanya kita kenal lewat buku-buku sejarah. Bahwa eksistensi Hassan Basry tak dapat dipisahkan dengan kelahiran organisasi perjuangan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, yang telah mengukir sejarah perlawanan heroik terhadap kolonialisme Belanda. Kisah perjuangannya ternyata lebih heroik daripada Spiderman III.

ALRI Divisi IV telah memberikan warna yang tajam dalam antisipasinya terhadap politik pecah belah Belanda pada saat itu. Politik “devide et impera” dengan gerakan federalisme-nya ini telah dikecam begitu keras oleh Hassan Basry sebagai seorang pejuang nasionalis yang tetap bertahan pada prinsip perjuangan.

Kemudian dalam rangkaian perjuangan melawan penjajahan Belanda itu, Hassan Basry bertindak sebagai Proklamator Proklamasi 17 Mei 1949, suatu proklamasi yang menunjukkan tantangan terhadap masih berkuasanya Pemerintahan NICA/ Belanda di bumi Lambung Mangkurat ini.

Proklamasi 17 Mei 1949 merupakan suatu usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945) oleh rakyat di Kalimantan Selatan, yang menyatakan bahwa wilayah Kalimantan Selatan merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan itu pada kenyataannya tidaklah mudah, karena para pejuang harus melewati serangkaian perjuangan fisik dalam kurun waktu tahun 1945-1949, yang dirasakan sangat berat karena para pejuang dihadapkan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda yangsangat kuat.

Kegigihan almarhum dalam bergerilya bersama rakyat meninggalkan anak isteri adalah suatu pengabdian yang tidak ternilai harganya. Hal itu berlangsung selama tahun 1945 sampai 1949, bersama-sama dengan para pejuang lainnya, antara lain H.Aberani Sulaiman, Gusti Aman, Budhigawis, Hammy AM., P.Arya dan lain-lain.

Untuk menghormati jasa-jasa almarhum, berdasarkan Kepres RI Nomor 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001 Brigjen (Purn) H Hassan Basry dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Hassan Basry yang menurut catatan Syamsiar Seman, lahir di Padang Batung, Kandangan pada 17 Juni 1923 dan wafat di Jakarta pada 15 Juli 1984, juga digelari Bapak Gerilya Kalimantan. Namanya diabadikan menjadi nama salah satu kapal perang (KRI), sejumlah jalan di beberapa kota kabupaten dan kotamadya serta nama untuk prasarana lainnya.Gelar ini merupakan bentuk penghargaan tertinggi dan terhormat yang diberikan oleh pemerintah kepadanya atas segala peran dan perjuangan beliau dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI khususnya didaerah Kalimantan Selatan.

Pembaca sekalian,

Ada ungkapan yang menyatakan bahwa: Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Tetapi ironisnya pada masa sekarang ini kita rasakan penghargaan terhadap jasa-jasa pahlawan makin luntur. Kita dan generasi muda perlu diingatkan kembali arti penting dan makna Pahlawan yang sarat nilai sejarah. Kita harus sadar, pembangunan bisa berjalan berkat tetesan darah para pejuang. Bangsa Indonesia tidak akan maju dan mempunyai character building jika tak mampu menghargai pengorbanan para pahlawan.

Mereka yang disebut “pahlawan” adalah seorang warga negara yang telah berjasa besar dan luar biasa kepada bangsa dan negara, rela berkorban dan berjuang tanpa pamrih. Dikatakan pahlawan karena mereka merupakan sosok panutan yang telah melahirkan nilai-nilai keteladanan yang luhur dan semangat kepahlawanan (heroisme) yang pada jamannya mewarnai sikap dan perilaku kehidupannya dalam memperjuangkan nasib bangsa dan negara ini.

Pembaca yang budiman,

Perlu ditegaskan bahwa makna “mewarisi Etos” berarti fokusnya pada ‘etos’, bukan ‘mitos’. Mewarisi Etos berarti meneladani jiwa dan semangat perubahan, bukan mitos yang bersifat klenik atau misteri. Etos melawan penindasan, dan penolakan bujukan atas jabatan, itu yang harus dilestarikan.
Mewarisi etos sangat relevan terutama dikaitkan peristiwa kebangsaan akhir-akhir ini ketika kita masih berada dalam suasana peringatan Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei. Peringatan Kebangkitan Nasional merupakan perode awal tumbuhnya rasa nasionalisme dikalangan rakyat Indonesia yang pada saat itu masih bersifat kedaerahan dan belum menjadi semangat yang berwawasan kebangsaan.

Perjuangan Brigjen H.Hassan Basry harus diteladani oleh generasi sekarang, untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat secara luas. Selama ini kita tidak mempunyai wahana untuk sosialisasi pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan secara luas, padahal nilai kepahlawanan perlu tetap dilestarikan untuk menunjang eksistensi bangsa dan negara di tengah percaturan dunia.

Menghargai jasa pahlawan berarti kita tidak melupakan sejarah. Ada kata-kata hikmah bahwa ”masa lalu adalah sejarah, masa depan itu misteri, masa kini adalah karunia”. Dengan sejarah mari kita mensyukuri hari ini, dan merencanakan masa depan.

Pertanyaannya, bagaimana kita merencanakan masa depan dan berefleksi dengan hal-hal yang telah kita lakukan? Kita perlu kembali ke jati diri bangsa. Peradaban dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari proses memahami “jati diri” sebagai proses memanusiakan manusia dalam kerangka keindonesiaan yang kita miliki. Oleh karenanya, peradaban bangsa seharusnya didesain oleh nilai-nilai kehidupan yang bernas untuk membangkitkan kembali keterpurukan bangsa ini.

Jati diri sebagai bangsa yang besar dan religius harus terus-menerus disegarkan dan dihidupkan dalam menjawab tantangan masa depan. Dengan modalitas itulah bangsa kita memperoleh landasan intelektual, spiritual, moral dan etika yang bersumber pada ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Sikap budaya religius itu banyak persamaannya dengan sikap dan budaya berbagai bangsa di Asia –sehingga kita sebut budaya Timur. Namun, sikap budaya itu berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap budaya dunia Barat yang sejak Renaissance di abad ke-15 mengambil sikap budaya yang menaklukkan alam (to conquer nature). Hassan Basry menolak invasi Belanda dalam hal ini, karena tidak sesuai dengan nilai budaya dan kemanusiaan.

Jika sikap budaya Timur memandang kebersamaan atau masyarakat sebagai pilar kehidupan, maka sikap budaya Barat menganggap individu manusia sebagai nilai utama. Itu sebabnya dunia Barat menghasilkan individualisme dan liberalisme, diikuti materialisme yang bermuara pada imperialisme dan kolonialisme.

Maka momentum untuk memperingati sumbangsih Brigjen H.Hassan Basry berarti mengembalikan memori kita kepada nilai dan etos kepahlawanan, selain itu dengan menjaga persatuan dan kedaulatan bangsa. Kesalahan orde terdahulu adalah membuat kita sebagai warga negara seakan-akan harus monoloyalitas terhadap seseorang, terhadap rezim bersangkutan. Padahal tidak, kita harus monoloyalitas kepada NKRI. Titik.

Penulis: Putra Daerah HSS di Banjarmasin

3 Comments »

  1. hamsin said

    ass…numpang baca z mas saya sangat kagum dengan tulisan anda

  2. Sip … tulislah sejarah kita agar kita memaknainya, dan orang lain ‘tahu’ bahwa kita punya sejarah.

  3. Kamal Ansyari said

    Masih belum banyak yang mengulas sejarah tentang Gerombolan pemberontak Ibnu Hajar di Kandangan

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Leave a comment