Kalau Bukan Karena Cinta (Retrospektip Haul Guru Sekumpul ke-13)

28619643_1560555584042436_3845635359013337680_o

Kalau bukan karena Cinta, tidak mungkin ribuan orang melantunkan tahlil dan tasbih, menangis sesegukan, bertahan berjam-jam sedari subuh, bertarung melawan panas menyengat langit Sekumpul, Kota Martapura Provinsi Kalimantan Selatan, di hari itu.

Kalau bukan karena Cinta, mustahil lantunan do’a dan shalawat menyesap udara seperti dengung lebah. Gelombang jamaah yang hendak menyalati susah dihentikan. Mereka berdiri memadati ruangan dalam mushala Ar-Raudhah sampai pekarangan. Jenazah beliau bagai magnet. Ribuan mata dan perhatian pelayat tertuju kepadanya. Mereka semua memberikan penghormatan terakhir. Ribuan masyarakat dari seantero penjuru negeri berduyun-duyun menyaksikan prosesi pemakaman.

Jenazah yang mulia itu kemudian dihantar ke tempat peristirahatan terakhir, di komplek pemakaman yang tidak jauh dari mushalla Ar-Raudhah. Hari Rabu 10 Agustus 2005, bertepatan dengan 5 Rajab 1426 H, ulama besar yang punya kualitas sosok waratsatul anbiya (pewaris Nabi) telah dipanggil Sang Khaliq. Beliau Al-Mukarram KH.Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang akrab kita panggil Abah Guru Sekumpul, seorang ulama besar terkenal di Kalimantan.

Bumi Banjar berduka pada saat itu, betapa tidak seorang putra terbaiknya yang selama ini menjadi panutan, rujukan bahkan “idola” umat telah berpulang ke rahmatullah, menghadap Ilahi Rabbi.

Lantas kini, kalau bukan karena cinta, rasanya tidak mungkin ratusan ribu bahkan diperkirakan satu juta lebih jamaah berhadir pada kegiatan Haul Abah Guru Sekumpul yang ke-13 di Sekumpul, Kota Martapura. Mereka tidak hanya memadati kubah Makam dan komplek sekitar Mushala Ar-Raudhah,namun juga menyeruak ke rumah-rumah warga sekitar dan seluruh jalan hingga ke jalan-jalan raya.

Lautan jamaah ini datang dari berbagai penjuru, ada yang dari Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Jatim, Jabar, Jateng, Jakarta hingga Malaysia, Brunei, Yaman dan Turki. Haul ulama kharismatik Kalimantan Selatan ini selain untuk mengenang sosok Sang Auliya juga menjadi ajang silaturahmi umat Islam di Bumi Lambung Mangkurat.

Kegiatan haul dijadikan juga oleh jamaah untuk mengambil barokah kewalian beliau, tak ketinggalan apalagi warga di sekitar komplek ar-Raudhah, misalnya memberi tumpangan tempat tinggal atau menginap bagi para jamaah yang berasal dari luar kota, membagi-bagikan makanan nasi samin, kue, air mineral secara cuma-cuma alias gratis, dan bergotong-royong menyiapkan segala hal demi suksesnya haul Guru Sekumpul setiap tahunnya. Kalau bukan karena Cinta, lantas kau sebut apa?

Kalau digali lebih dalam, esensi dari Haul Nasional Guru Sekumpul tersebut, yakni selain untuk menambah kecintaan pada alim ulama dan menjadikannya sebagai teladan, kegiatan haul juga sebagai oase spiritual umat Islam di zaman kosmopolitan. Tambahan pula, haul Guru Sekumpul adalah sebagai reminder system orang Banjar agar senantiasa mengamalkan wasiat Abah Guru Sekumpul.

Ada 10 nasehat Abah Guru Sekumpul yang diwasiatkan kepada jamaahnya dan seluruh masyarakat Kalimantan, yaitu: 1) Menghormati ulama, 2) Murah diri, murah hati, manis muka, 3) Memaafkan segala kesalahan orang lain, 4) Jangan bersifat tamak dan memakan harta riba, 5) Jangan menyakiti orang lain, 6) Jangan merasa baik dari orang lain, 7) Berpegang kepada Allah segala hajat yang dikehendaki, 8) Baik sangka terhadap muslim, 9) banyak-banyak sabar apabila mendapat musibah, banyak-banyak syukur atas nikmat, 10) Tiap-tiap orang yang iri dengki atau adu asah jangan dilayani, serahkan segala sesuai kepada Allah (tawakkal).

Wasiat tersebut adalah bagian kearifan lokal ulama kharismatik Martapura tersebut, dan ini mengisyaratkan agar warga Kalimantan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya agar mengamalkan dan membumikannya dalam kehidupan sehari-hari. 10 wasiat Abah Guru Sekumpul ini mengarahkan pada pandangan substansi beragama yang inklusif humanis profetik.

Inklusif humanis profetik adalah sebuah konsep vertikal-horizontal, komprehensif  amaliyah dari habluminallah dan habluminannas, dan ia lebih bersifat intrinsik dari kesadaran (consciousness) diri pribadi.  Keseluruhan warisan wasiat tersebut saling terintegrasi satu dengan lainnya, sehingga selain sebagai khalifah fil ardh dan ibadullah, manusia juga sebagai ibadurrahman yang secara ritual dan sosial melakukan ibadah dengan penuh rasa cinta, baik interaksinya dengan Allah, interaksinya dengan sesama orang Islam, interaksinya dengan sesama warga masyarakat,  interaksinya sesama manusia, hingga interaksinya dengan alam dengan segala isinya yang merupakan ciptaan Allah Swt.

Sikap pola keagamaan yang inklusif humanis profetik bertujuan untuk menciptakan lingkungan beragama yang sehat dan dinamis, mampu menjadi pemersatu Islam dan kedamaian di lingkungan masyarakat pluralistik Indonesia.

Wasiat ini diamalkan baik ketika bersentuhan dengan ras, etnis, kelas sosial, kelompok budaya, dan atau bahkan paham keagamaan yang berbeda.  Abah Guru Sekumpul dalam wasiatnya mengisyaratkan kepada jamaah dan seluruh masyarakat untuk menyadari secara penuh akan adanya sunatullah dalam keragaman pikiran/pendapat/pemahaman, semuanya adalah bagian dari fakta sosial yang tidak dapat dipungkiri. Namun fakta sosial tersebut bisa disikapi dengan mengamalkan wasiat Abah Guru Sekumpul. Kesepuluh wasiat Abah Guru Sekumpul tersebut adalah amalan yang sangat mulia dalam menghantarkan kehidupan bermasyarakat menjadi aman, damai, tenteram dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.

Terakhir, sebagai retrospektif haul Abah guru Sekumpul dapat dijadikan momen refleksi diri agar semakin bertaqwa, dengan jalan manifestasi sikap menolak konflik dan berupaya selalu menebar cinta kasih dan perdamaian, sebagaimana yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, para sahabat Rasulullah Saw, hingga diperjuangkan oleh para ulama waratsatul anbiya.

Sebagai kontemplasi tulisan, mari buktikan bahwa dengan mengamalkan wasiat Abah guru Sekumpul dalam konteks sekarang ini maka sedikit banyak turut mengurangi dan bahkan menghilangkan sikap homo homini lupus, jangan sampai individu peradaban modern ini malah mengafirmasi bahwa “manusia tak lebih dari kumpulan hewan berakal yang saling memangsa dan menghancurkan satu sama lain”. Naudzubillahi min dzalik!

Jadi, pertanyaan retorik akhir sebagai kontemplasi, internalisasi diri dan referensi renungan bagi publik Banjar dan tanah air tercinta: Apakah Anda mau turut serta mengamalkan warisan ajaran inklusif humanis profetik ulama Nusantara ini? dan atas nama Cinta bersediakah juga menyebarluaskan wasiat Abah Guru Sekumpul di tengah masyarakat?

Allahumma amiddana bimadaadihi. Amien.

Leave a comment