Randu dan Membangun Banjar dengan Buku

jazirah

Pada tanggal 21 Desember 2008, ketika saya bersama Suhadi dan Aliansyah bertamu (lebih tepatnya diundang) ke kediaman Ersis Warmansyah Abbas, saya berjumpa pertama kali dengan Randu Alamsyah, sang penulis novel “Jazirah Cinta”. Tak tanggung-tanggung, novelnya yang berlatarbelakang Kalsel mendapat pujian dari artis cantik Zaskia Adya Mecca.

Kesan pertama, ustadz Pondok Pesantren Darul Ilmi, Banjarbaru ini ternyata masih cukup belia. Lelaki kelahiran Manado 25 Juni 1983 dengan rambut sedikit gondrong. Pemilik nama asli Muhammad Nur Alam Machmud ini, konon menulis novel ketika dalam kondisi serba terbatas di tengah hutan. Diskusi dan perbincangan yang digelar membersitkan makna dalam hatiku, bahwa Randu adalah “anugerah” bagi Tanah Banjar.

Dengan bahasanya yang polos, cerdas dan apa adanya, ia menceritakan proses kreatifnya. Sebelum masuk dalam dunia tulis menulis, rupanya ia termasuk anak “pengembara” dan inilah yang diakuinya sebagai awal di mana ia mengenal dunia tulisan. Hampir seluruh kota besar di Indonesia sudah pernah disinggahinya. Woow…

Sehabis diskusi tersebut, pikiran saya kembali ke banua Banjar. Mungkinkah ada sosok Randu-Randu lain di propinsi yang terkenal dengan budaya mawarung? Yang lebih mementingkan “mulut” dibandingkan dengan otak sebagai wadah pikiran? (Mohon maaf kalau ada yang tersinggung,hehe).

Menonjolkan sosok Randu bukan berarti yang lain tak bernilai, namun lebih karena saat ini saya ingin membahasnya. Penasaran dengan novelnya, saya sempatkan waktu mengunjungi Toko Buku Gramedia Duta Mall Banjarmasin. Tak ingin pulang hampa, saya terpesona buku bersampul mempesona anak banua “Jazirah Cinta”, di antara jejeran ratusan buku novel cinta, dengan embel-embel pembangun jiwa.

Di tengah kegalauan kita sebagai orang Banjar yang dilihat dari sisi literasi masih sangat mengkhawatirkan, Randu telah menjadi kebanggaan tersendiri. Ia seolah menjadi penyemangat bagi kita dan generasi selanjutnya, bahwa Banjar bisa bersejajar dengan propinsi lain yang lebih dulu berbudaya literer.

Setelah membaca novel Randu, pikiran saya diarak “kembali pulang” ke banua kesayangan. Membaca novel terbitan Zaman Jakarta, 2008 ini saya dibawa bertualang meitihi geliat kehidupan anak pondok di pagi hari. Pesantren Raudathus Sama, di samping lokalisasi Pembatuan, Banjarbaru. Kendati ceritanya kerap loncat-loncat (hehe), saya tetap asyik membacanya. Kilas balik kehidupan Syamsu alias Daeng yang minggat dari orangtuanya di Sulawesi, terdampar di Balikpapan dan terjerat gang pencuri, sampai akhirnya “bertobat” di Banjarmasin.

Dibumbui cerita cinta dengan seorang galuh cantik yang ternyata seorang PSK, pergolakan antara kesadaran religi dan godaan manusiawi, konflik dibangun ketika putri sang Kiai ternyata mencintai Syam. Cerita berakhir “happy ending” dengan pernikahan Syam dengan anak penghuni rumah yang dia curi.

Dengan setting Banjar, agaknya novel ini memiliki kekhasan tersendiri. Satu hal yang cukup membuat saya terperangah adalah kekaguman Randu pada sosok (almarhum) KH. Zaini bin Abdul Gani di Sekumpul, Martapura. Sosok yang selama ini juga saya kagumi, karena ketokohannya, kebersahajaannya dan wejangan-wejangan sarat hikmah lewat Pengajian Cahaya. Sebuah wujud penghormatan (ta’dzim) yang bukan basa-basi biasa. Baarakallaah Ya Akhii…Hayya binaa Nujaahidu fi Sabilillaah bil Kitaabah!!

Membangun Banjar dengan Buku

Agak malu hati juga sebenarnya kalau membicarakan dunia perbukuan di Tanah Banjar. Apalagi hendak membandingkan dengan Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta.

Dalam pengetahuan saya, hanya ada beberapa nama penulis kelahiran Tanah Banjar yang produktif melahirkan buku, antara lain Drs. H.M. Syamsiar Seman, seorang budayawan Banjar. Tercatat karya tulis yang beliau hasilkan, antara lain: Nilai-nilai Agama dalam Budaya Masyarakat Banjar (1985), Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar (1996), Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan (1999), Urang Banjar Umpat Bapantun (2000), Bunga Rampai Budaya Daerah Banjar (2000), Arsitektur Tradisional Banjar (2001), Perkawinan Adat Banjar (2001), Permainan Tradisional Orang Banjar (2002), Kesenian Tradisional Banjar, Lamut, Madihin dan Pantun (2002), Pangeran Antasari dan Meletusnya Perang Banjar (2003), Lahirnya ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan (2004), Cucupatian Urang Banjar (2005), Sasirangan, Kain Khas Banjar (2007), dan buku-buku lain dalam bahasa Banjar.

Lalu, ada KH. Husin Naparin, Lc.,MA, mantan ketua MUI Banjarmasin (1992-2002) dan pengasuh rubrik “Fikrah” pada harian Banjarmasin Post. Karya tulisnya antara lain: Bunga Rampai Timur Tengah (vol.I-II), Muhammad Rasulullah, Aktualisasi Fungsi Mesjid dalam Bidang Pendidikan, Tata Cara Berdo’a, Istighfar dan Taubat, Tuntunan Praktis Ibadah Haji, Siang Malam Bersama Nabi, Nalar Al-Qur’an: Refleksi Nilai-nilai Teologis-Antropologis, dan lain-lain.

Selanjutnya, Prof. Dr. HM. Zurkani Jahja, dosen pada Program Pasca-sarjana IAIN Antasari Banjarmasin. Juga pernah menjabat sebagai ketua MUI Kalsel, pengurus ICMI dan anggota Lembaga Budaya Banjar. Beberapa karya yang sudah diterbitkan, Asal Usul Thoreqat Qadiriyah Naqsabandiyah dan Perkembangannya, dalam Prof. Dr. Harun Nasution (Ed., 1990), Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologi (1996) dan Teologi Islam Ideal Era Global: Pelbagai Solusi Problem Teologis (1997).

Sosok H. Abdul Djebar Hapip, guru besar madya FKIP Unlam, juga banyak berkiprah dalam bidang pendidikan dan budaya Banjar. Beliaulah orang pertama yang melakukan penelitian “Bahasa Banjar” dan merupakan salah satu pakar pada bidang Bahasa Banjar, hingga kini. Tahun 1977 terbit Kamus Banjar – Indonesia yang kini telah sampai pada cetakan ke-4. Beberapa naskah tulisan dan buku tentang Bahasa Banjar yang siap cetak, antara lain: Anak Seribu Sungai, Cerita Humor Ala Banjar, Empat Puluh Satu Pamali dalam Masyarakat Banjar, dan Cerita-cerita Seram Urang Banjar.

Tajuddin Noor Ganie, S.Pd., M.Pd. adalah adalah sastrawan dan budayawan Banjar. Mulai merintis kariernya sebagai sastrawan sejak tahun 1980-an. Sejak itu ia aktif mempublikasikan puisi, cerpen, esai sastra, dan tulisan lepas mengenai folklor Banjar di berbagai koran terbitan Banjarmasin, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.

Buku-buku Tajuddin Noor Ganie yang juga sudah diterbitkan antara lain : Penyair Kalsel Terkemuka Selepas tahun 1980 (1982), Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalsel (1985), Apa dan Siapa Sastrawan Kalsel (1985), Ensiklopedi Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalsel (1995), Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (bersama Jarkasi, 2001), Profil Sastrawan Kalsel 1930-1999 (Skripsi S.1), Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi dan Nilai Peribahasa Banjar (2005), Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel (2007) dan Kamus Peribahasa Banjar (Edisi 2007).

Antologi cerpen yang sudah diterbitkan antara lain, Nyanyian Alam Pedalaman (Penerbit Pustaka Pelajar Yoggyakart, 1999).

Yang satu ini, Mukhtar Sarman, kepala Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Daerah (PK2PD) Unlam Banjarmasin. Mengisi kolom tetap “Wacana” pada harian Radar Banjarmasin yang muncul setiap hari Senin. Buku yang sudah dipublikasikannya sebagai pengamat sosial politik lokal antara lain: Menuju Puncak Kekuasaan: Catatan Ringan dari Pilkada Prop. Kalimantan Selatan (2005), Pejabat Bukan Selebriti (2007), Sang Wakil Rakyat, Wajah Elit di Cermin Retak (2008) dan KPUD Undercover (2008).

Selanjutnya, figur Taufik Arbain, aktivis LSM Center for Regional Development Studies (CRDS) Kalsel dan Jarkasi, budayawan dan dosen FKIP Unlam, sebagai tim editor buku: Prahara Budaya Rumah Banjar (2004) dan Berkelana Mencari “Sultan” Banua Banjar (2005). Sainul Hermawan, staf pengajar bahasa dan sastra Indonesia di FKIP Unlam juga menerbitkan buku: Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2005-2007 (2007).

Penyair dan sastrawan Hamami Adaby, membukukan beberapa antologi puisi, Kesumba (2002), Bunga Angin (2003), Dermaga Cinta (2004), 36 Mata Pena (2007), Di Jari Manismu Ada Rindu (2008), dan sejumlah puisi dalam bahasa Banjar.

Pribakti Budinurdjaja, seorang dokter RSUD Ulin sekaligus pengajar Fak. Kedokteran Unlam, juga melahirkan buku: Yth. Koruptor, Maafkan Daku (2007). Ada lagi Alfani Daud, penulis buku Islam dan Masyarakat Banjar (1997). Ahmadi Hasan, M.Hum, penulis buku: Adat Badamai (2008). Kumpulan serial Kisah Si Palui, karya (alm) H. Yustan Aziddin, sebuah cerita rakyat berbahasa Banjar yang dimuat harian Banjarmasin Post, juga telah dibukukan untuk masyarakat luas. Buku ini merupakan sumbangan yang tak ternilai terhadap pelestarian budaya Banjar.

Pun tak ketinggalan, Drs. Wajidi, staf Balitbangda Prop. Kalsel (2001-sekarang), adalah anggota tim peneliti/ editor buku Sejarah Banjar (2003), Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005), dan penulis buku: Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942 (2007) dan Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik (2007). Profil KH.Zaini Ghani dapat kita simak dalam buku: Bertamu ke Sekumpul (2004) tulisan Ahmad Rosyadi, wartawan Kalimantan Post. Djok Mentaya, pendiri Banjarmasin Post figurnya dapat dibaca pada buku, Djok Pengembara dari Sungai Mentaya (2008). Sementara HA. Makkie BA, menuliskan otobiografinya pada buku, Anak Pondok (2003) dan Pengembara dari Datar Alai (2008).

Teranyar ada buku Lihan Ustadz Pengusaha (2008), mengupas sosok fenomenal santri pengusaha dari Cindai Alus, dengan “kerajaan” bisnisnya yang tak terkira.

Dari penerbit Toko Buku “Sahabat” Kandangan kerap menerbitkan buku-buku sejarah ulama dan aulia di Tanah Banjar, tercatat buku-buku antara lain: Manakib Syekh Samman, Manakib Datu Sanggul, Manakib Datu Nuraya, Manakib Datu Suban, Manakib Syekh Muhammad Nafis, 100 Tokoh Kalimantan dan Cerita Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan.

Dari buku-buku yang disebut tadi, saya menemukan nama Pustaka Banua, Tahura Media, Grafika Wangi Kalimantan, Radar Banjarmasin Press, Rumah Pustaka Folklor Banjar dan Penerbit Sahabat, Kandangan sebagai penerbit buku di Tanah Banjar. Sebelumnya, beberapa penerbit Tanah Banjar sempat melahirkan buku: Balai Bahasa Banjarmasin, IAAI Komda Kalimantan, Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, AWF Publisher, Smart 2 Print, PK2PD Unlam Banjarmasin, LK3 Banjarmasin, Antasari Press dan beberapa LSM lainnya.

Data ini, boleh jadi, sangat jauh dari akurat. Selain saya tidak memiliki buku-buku tersebut, saya juga tidak memiliki akses informasi yang memadai. Tapi, apa pun, tulisan ini sebenarnya hanya semacam ingatan dan/atau untuk mengingatkan saja.

Kembali kepada gagasan membangun Tanah Banjar dengan buku, agaknya pikiran ini jauh dari populer. Sepanjang tahun 2007 dan 2008, energi orang Banjar sepertinya telah terkuras untuk hal-hal yang lebih konkrit dan lebih praktis. Pemilihan kepada daerah (pilkada) tahun 2008 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lebih jelas kontribusinya untuk kehidupan dan penghidupan bagian sebagian orang. Proyek-proyek fisik yang menelan jutaan bahkan miliaran rupiah tentu lebih nyata juntrungannya. Jangan kata ada momentum pilkada dan pemilu, dalam kondisi normal sekalipun, sedikit sekali yang konsen dengan kerja-kerja budaya dan intelektual.

Namun sekecil apa pun, saya masih berharap ada pihak-pihak yang sedikit peduli dengan kerja-kerja budaya dan intelektual semacam menerbitkan buku. Masyarakat Tanah Banjar, saya pikir, harus berterima kasih banyak kepada Ersis Warmansyah Abbas (EWA) dengan LPKPK & EWA’MCo. Publishing-nya, yang produktif menghasilkan buku-buku sastra dan motivasi menulis. Secara tidak langsung, EWA telah memperkenalkan (kebudayaan) Tanah Banjar ke berbagai belahan bumi dan menyumbang pemikiran yang tidak sedikit bagi pembangunan Tanah Banjar melalui karyanya (baca: buku).

Tercatat, dosen pada FKIP Unlam Banjarmasin yang lahir di Muara Labuh, Solok Selatan ini adalah penulis: Pemuda dan Kepahlawanan, Penyunting (1988), Pengantar ke Pemahaman Sejarah (1993), Memahami Sejarah (1997), Bab-Bab Antroplogi, Penyunting (Fudiat Suryadikara 1996), Pembangunan Kalimantan Selatan, Penyunting (Ismet Ahmad 1988), Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar Dalam Revolusi Fisik 1945-1949 (2000), Tanah Laut: Sejarah dan Potensi (2000), Banjarbaru (2002), Buku Kenangan Purna tugas M.P Lambut, Editor Bersama (2003), Menguak Atmosfir Akademik, Penyuting bersama (2004), Nyaman Memahami ESQ (2005) Menggugat Kepedulian Pendidikan Kalsel (2006), Menulis Sangat Mudah (2007), Menulis Mari Menulis (2007), Menulis dengan Gembira (2008), Menulis Berbunga-bunga (2008), Virus Menulis Zikir Menulis (2008), dan Menulis Mudah, dari Babu sampai Pak Dosen (2008).

Menerbitkan antologi puisi: Surat Buat Kekasih (2006) dan terbitan bersama: Garunum (2006), Taman Banjarbaru (2006), Tajuk Bunga (2006), Kolaborasi Nusantara dari Banjarbaru (2006). Penyunting antologi puisi: Hamami Adaby: Kaduluran (2006), dan kumpulan cerpen Jamal T. Suryanata: Bulan di Pucuk Cemara (2006).

Selebihnya, ada juga Jamal T. Suryanata (Galuh), Aliman Syahrani (Palas), Harie Insani Putra dan Sandi Firly (Perempuan yang Memburu Hujan), Hajriansyah (Jejak Air dan Jejak-jejak Angin, bersama M.Nahdiansyah Abdi), Ratih Ayuningrum (Dongeng Kesetiaan), Ali Muammar Zainal Abidin (Urang Banjar Umpat Bepandir), Ogi Fajar Nuzuli (Editor buku Dimensi, Antologi Puisi 10 Penyair Banjarbaru) dan lain-lain yang tadi sudah disebut-sebut. Ada lagi Syamsuwal Qomar (Geliat Pemikiran Kampus) dan Rahayu Suciati (Aku Bangga Jadi Urang Banjar). Kalian membuat saya cemburu.

Dan, yang paling anyar, Randu Alamsyah (dengan gegap gempita saya sambut novel perdanamu, Jazirah Cinta). Yang lain, semoga menyusul melahirkan buku.

Pertanyaannya, mengapa harus buku? Soalnya, intelektualitas–tanpa harus mengutip sesiapa pun–sangat lekat dengan pemikiran dalam bidang apa pun (sosial, budaya, ekonomi, politik, sastra dan sebagainya). Pemikiran yang komprehensif, sistematis, dan tentu saja gampang dikutip adalah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan pendek (sebuah artikel, sebuah puisi, sebuah cerpen), hanyalah sepercik pemikiran dari sebuah gagasan yang luas dari si penulis. Maka, agar pemikiran seorang menjadi utuh, setidaknya berupaya mencapai utuh, dia harus dibukukan.

Membangun Tanah Banjar dengan buku, dengan demikian, sebuah upaya membangun Tanah Banjar dengan pemikiran yang lebih komprehensif, sistematis, dan utuh; yang dilakukan seorang penulis, sastrawan, budayawan, pemikir, intelektual atau cendekiawan. Semua profesi ini dalam tataran yang setara: menulis dan menerbitkan buku.

Bagi kebanyakan orang (biasanya disebut awam) mungkin sama sekali tidak terpikirkan untuk membangun Tanah Banjar dengan buku. Intelektualitas dan buku memang sebuah upaya untuk tidak menjadi awam, menjadi orang kebanyakan. Upaya menulis buku secara kasat mata memang tidak menguntungkan, tetapi Tanah Banjar akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari gagasan-gagasan yang dielaborasi dalam buku. Dalam bahasa yang sekarang populer: menjadi inspirasi (inspiring) bagi pembangunan Tanah Banjar.

Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain. Tanah Banjar harus menerbitkan buku, minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. Ini serius.

Kondisi ini sebagai kabar gembira untuk cendekiawan dan sastrawan Tanah Banjar sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku di Tanah Banjar jelas tak untung. Karena itu, pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Tanah Banjar harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Tanah Banjar: menulis dan menerbitkan buku di Tanah Banjar!

Upaya membangun dunia perbukuan di Tanah Banjar dan sekaligus juga mendorong kemajuan Tanah Banjar melalui dunia pemikiran (buku) memang tidak mudah. Tapi, bukan hal yang utopis. Pengembangan perbukuan di Tanah Banjar harus melibatkan banyak pihak.

Mari memajukan Tanah Banjar dengan buku.

24 Comments »

  1. Itilhanya keren, Membangun Tanah Banjar dengan Buku. Kalau Tanah banjar apa dari saya ya? Btw, saya optimis tahun-tahun ke depan Tanah Banjar akan dihuni Anak-Anak Banjar yang menulis buku. Dari pengalaman memotivasi dan sharing dengan banyak anak-anak muda, potensinya luar biasa. Saya khusu mewakafkan sedikit kemampuan dengan menularkan virus menulis. Ayo bersama kita kuat; Menulis, menulis, dan … menulis buku.

  2. Ass.

    Membangun Tanah Banjar dengan Buku … harapan kemajuan yang berperadaban.

    Sebenarnya saat sampai pada kalimat …. “(almarhum) KH. Zaini bin Abdul Gani di Sekumpul, Martapura. Sosok yang selama ini juga saya kagumi, karena ketokohannya, kebersahajaannya dan wejangan-wejangan sarat hikmah lewat Pengajian Cahaya”. … ada yang sangat menyedihkan, karena sepengetahuan yang terbatas, pemikiran beliau tidak ada yang berbentuk buku, jika demikian sangat sayang seribu sayang wejangan-wejangan yang sarat hikmah lewat Pengajian Cahaya hanya “bertebaran” dalam pikiran orang-orang yang pernah langsung mengikuti pengajian beliau.

    Harus ada yang menuliskannya menjadi satu (beberapa) buku, karena wejangan yang sarat hikmah dan sangat mengena di hati merupakan mutiara yang sangat berharga di hati. Terutama mereka yang berlatar belakang pendidikan keagamaan untuk menuliskan kembali seperti Plato saat menuliskan pemikiran-pemikiran gurunya.

  3. sandi said

    ayo… ayo… bikin novel! (sebenarnya ditujukan untuk diri saya sendiri).

  4. syahru said

    ….saya nda suka novel mas…tapi saya kasih tip jitu “ANTI STRESSS”…coba tengok blog sebelah

  5. selamat atas terbitnya novel “jazirah cinta” karya mas randu, semoga makin banyak penulis kalimantan selatan yang eksis dalam dunia kepenulisan di tanah air. salam kreatif!

  6. Ramdan said

    Hebat!!!
    ternyata ada penulis di Banua kita
    Saluuut!!!!!!!!!!!!!!

  7. Anton said

    Selamat atas terbitnya novel tsb. Salam kenal.

  8. Ya itu Mas. Kasihan para penulis. Gimana sih pemerintah ini ? Menulis buku kan gak gampang. Mbok, didukung, didanai, diperhatikan, diajak Ngomong, kumpul-kumpul, disembelihkan ayam. Kan harusnya Gitu ?
    Nanti kalo bukunya tersebar dan cetak hits, kan Daerah juga yang bangganya, kan untuk Devisa daerah juga ?
    Wahai Pemerintah ? Apa kalian memang punya Iktikad baik Untuk tanah ini ?
    Kalo ada, Buktikan ! Jangan biarkan para Penulis berserak – serak, bagai anak-anak yatim sejarah. Rangkul mereka, usap peluhnya, dengarkan keluh kesahnya. Percayalah, para Penulis -penulis Seperti Pak Ersis, Sandi Firly, Taufiq, Dan banyak lagi itu, tak akan menggerogoti kas daerah koq. Mereka hanya punya cita – cita Luhur untuk membangun negeri ini. Dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka bisa membangun Banjar ini dengan Buku.
    Sederhana kan ?

  9. rasid09 said

    orang hanyar belajar datang nah didunia sobat, hi..hii.. kada kawa taucap gasan sobat.. maju terus …

  10. uki21 said

    assalamu’alaikum..
    wah sepertinya novel ini patut jadi daftar belaja buku saya bulan ini nih..
    makasih ya.. atas info buku nya..

  11. Pingin nih beli dan baca bukunya segera…
    salam

  12. omiyan said

    sore musti ke gramed nih

  13. Rizky said

    Wah, handak nukar… tapi duit lagi seret… Duitnya kepake buku semua….

    Maklum mahasiswa…….

  14. Wah….saya juga mau dong bukunya, kira -kira di daerah Kal-tim ada nggak yaa????

  15. rasid09 said

    aku mencoba dulu sobat…hii…hii

  16. Komentar sampeyan di http://www.webersis.com dijadikan tulisan bertitel: Menulis Memelihar Pikiran

  17. suhadinet said

    Jadi termotivasi ni..
    Ternyata budaya literasi kita masih sangat rendah 😦

  18. Hejis said

    1. Post tentang warga Kalsel yang menulis buku, sungguh luar biasa. Lumayan lengkap, mas Taufik. Bisa untuk referensi lho.
    2. Budaya mawarung? Wakakak… saya termasuk anggota komunitasnya, karena bertahun2 makan di warung dan otak kosong melompong. Seringnya saya makan di simpang empat Kayutangi, makan itik panggang..he.. he..
    Btw, tokoh2 Kalsel perlu juga otokritik kultur seperti ini shg bisa direformulasi atau apalah namanya…
    3. Kayaknya novel Jazirah Cinta perlu diusulkan ke Swedia untuk dapat hadiah nobel 2009 ya. Selamat untuk penulisnya, Randu Alamsyah Abbas. Selamat!
    4. Pemerintah perlu mengakomodasi para penulis Kalsel tuh. Bagus pemikiran mas Randu. Disuruh ngumpul kek, disangoni, dikasih percetakan, dikasih pensiun kalau sudah tua, dikasih rumah, dikasih sawah, dikasih istri/suami yang belon kawin, dikasih wadah atau lembaga, dikasih ini, dikasih itu….

  19. hmmmmm……. mudahan lun bisa kayak buhan pian sabarataan…
    bisa menulis novel n tulisan yg bagus… amien

  20. Qori said

    Doakan kami akan merampungkan novel juga neh :p

  21. Menerbitkan buku kupikir tak selamanya baik kalau masih ada sifat ketergantungan pada orang, pemerintah atau lembaga kesenian misal DKD. Sebaiknya kita tinggalkan paradigma lama itu. Hidup mandiri lebih ditanamkan pada diri. Memang semula kita rasakan betapa sulitnya hal itu namun kalau sudah kita jalani dengan semangat, tekun dan sungguh-sunguh niscaya mendapat kemudahan.Hal ini aku alami sendiri, semua bukuku kuterbitkan sendiri secara mandiri dan swadana. Biaya murah dan kualitasnya tak kalah dengan buku yang diterbitkan oleh penerbit lain. Sebab kita mengetahui sendiri kondisi Tanah Banjar ini begitu gersang perihal bantuan pemerintah atau lembaga terkait untuk menerbitkan buku apalagi buku sastra. Kada baparibasa : Baharaga Tari Larut. Kita pingkuti papadah dan semboyan Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing.Salam sastra

  22. Sandi sangat jujur. saya suka. kapan kita diskusikan episode hamka dalam novel pian?

    posting keren

    salam kenal

  23. wajidi said

    Sebetulnya banyak tulisan tentang ke-banjar-an. Salanjung banyaknya, terutama yang dahulu dihasilkan Bidang Jarahnitra Kanwil Depdikbud Kalsel dan Museum LM, banyak isinya yang berbobot. Jika dicetak ulang dan didistribusikan ke barbagai kalangan yang betul-betul memerlukan tentu akan lebih baik
    Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary sudah mempelopori budaya menulis di banua kita. Mudahan makin banyak penulis handal di banua kita. Menulis tidak untuk mendapat pujian, jar. Jangan takutan mempublikasikan tulisan lah…..

  24. Kaimun said

    Mantap bukunya, ayo terus membangun!!

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Leave a reply to HE. Benyamine Cancel reply